Sejarah Kerajaan Pelalawan berawal dari kerajaan Pekantua yang didirikan oleh Maharaja Indra

Ahad, 24 Mei 2015

SPN. G.P. Ade Darmawi/Ist

RADARPEKANBARU.COM-Beliau adalah bekas orang besar kerajaan Temasik (sekarang Singapura) mendirikan kerajaan ini setelah Temasik dikalahkan oleh Majapahit di penghujung abad ke XIV.  

Sedangkan raja Temasik terakhir ketika itu adalah Permaisura (=Parameswara) yang kemudian mengundurkan diri ke Tanah Semenanjung dan mendirikan kerajaan Melaka.
 
Maharaja Indera (1380 - 1420 M) membangun kerajaan Pekantua di sungai Pekantua- salah satu anak sungai Kampar  sekarang termasuk wilayah desa Kuala Tolam kecamatan Pelalawan pada tempat yang bernama Pematang Tuo.

Maharaja Indera juga membangun candi Hyang di Bukit Tuo (sekarang di desa Lubuk Emas) yang lazim disebut Bukit Hyang, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Pematang Buluh atau Pematang Lubuk Emas sebagai tanda syukurnya dapat mendirikan kerajaan Pekantua .
 
Setelah Maharaja Indera mangkat, kemudian digantikan oleh puteranya Maharaja Pura (1420- 1445 M) yang terus berusaha mengembangkan kerajaan Pekantua dengan membangun Bandar Tolam di hilir Pekantua untuk meningkatkan perannya dalam pelayaran di perairan selat Melaka.

Ketika Maharaja Pura mangkat, digantikan oleh puteranya Maharaja Laka (1445 - 1460 M) yang memperbesar Bandar Tolam sebagai pelabuhan niaga dengan Melaka. Selanjutnya Maharaja Laka digantikan oleh Maharaja Sysya (1460- 1480 M).

Pada masa inilah dibangun Bandar baru di seberang hulu Bandar Pekantua yang diberi nama Bandar Nasi kemudian dikenal dengan nama Bandar Nasi-nasi.
 
Maharaja Sysya digantikan oleh puteranya Maharaja Jaya (1480- 1505 M). Pekantua semakin berkembang dan mulai dikenal sebagai bandar besar sehingga beritanya sampai ke Melaka yang sudah berkembang sebagai bandar terpenting di perairan selat Melaka serta menguasai wilayah yang cukup luas pada masa itu.
 
Melaka bermaksud mengusasi kerajaan Pekantua sekaligus mengokohkan kekuasaanya di pantai Timur Sumatera. Pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459- 1477 M), Melaka menyerang Pekantua yang dipimpin oleh Sri Nara Diraja dan berhasil menguasai Pekantua
 
Sultan Mansyur Syah kemudian mengangkat Munawar Syah menjadi raja Pekantua (1505 - 1511 M). Pada upacara penabalan Munawar Syah menjadi raja Pekantua, diumumkan bahwa kerajaan Pekantua diubah namanya menjadi "Pekantua Kampar". Sejak itu Pekantua Kampar sepenuhnya berada di bawah naungan Melaka.
 
Setelah Munawar Syah mangkat digantikan oleh puteranya Raja Abdullah menjadi Sultan kerajaan Pekantua Kampar (1511- 1515 M). Sedang di Melaka Sultan Mansyur Syah mangkat dan digantikan oleh puteranya Alauddin Riayat Syah I.

Kemudian setelah baginda mangkat selanjutnya digantikan oleh Sultan Mahmud Syah I. Pada masa inilah Melaka diserang dan dikalahkan oleh Portugis (1511 M). Sultan Mahmud Syah mengundurkan diri ke Muar (Johor), kemudian ke Bentan dan sekitar tahun 1526 M Sultan Mahmud Syah sampai ke Pekantua Kampar.
 
Sedangkan Raja Abdullah raja Pekantua Kampar yang merupakan menantu Sultan Mahmud Syah I ketika Melaka diserang Portugis turut membantu Melaka melawan Portugis, tetapi baginda raja Abdullah dapat ditawan Portugis dan di bawa ke Melaka kemudian dihukum gantung.

Itulah sebabnya ketika Sultan Mahmud Syah I sampai ke Pekantua Kampar baginda dinobatkan menjadi raja Pekantua Kampar (1526- 1528 M).
 
Setelah Sultan Mahmud Syah I mangkat, baginda bergelar "Marhum Kampar" dan digantikan oleh putranya dari istrinya yang bernama Tun Fatimah  yang bernama raja Ali bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah II.

Tak berapa lama kemudian meninggalkan Pekantua Kampar menuju ke Tanah Semenanjung, mendirikan negeri di Kuala Johor. Sultan Alauddin Riayat Syah II dianggap sebagai pendiri kerajaan Johor.
 
081.     Dikala agama dan adat tiada bermuka
Armada Peringgi menyerang Melaka
Alfonso d'Albuquerque siangkara murka  
Tahun lima ratus sebelas jatuhlah Melaka
 
082.     Sultan bersama dengan puteranya
Raja Ahmad demikian namanya
Ke daerah Riau menyingkir akhirnya
Pekantua Kampar jadi tujuannya
 
083.     Baginda dinobat ketika di Kampar
Menjadi Sultan dua tahun berada
Akhirnya mangkat Raja nan Akbar
Nan Hilang digelar Marhum Kampar
 
084.     Baginda digantikan oleh puteranya
Raja Ali sang Putera Mahkotanya
Setelah dinobat menurut adatnya
Sultan Alaiddin Riayat Syah Dua masyhur gelarnya
 
085.     Setelah beberapa lamanya ada
Tun Perkasa diangkat Baginda
Sebagai Mangkubumi pendamping Baginda
Dianugrahi gelar sebagai Raja Muda
 
086.     Untuk pekerjaan nan selanjutnya
Sultan meninggalkan Pekantua
Ke Kuala Johor tempat tujuannya
Mendirikan kerajaan baru disana
 
087.     Setelah tapak kerajaan didirikan
Johor berkembang sangat mengesankan
Sampailah ajal yang ditaqdirkan
Diganti Putera Sultan yang meneruskan
 
088.     Kerajaan Johor penerus kerajaan Melaka
Begitu pula bekas taklukan Melaka
Ke Sultan Johor tak berani durhaka
Termasuklah Siak mnundukkan muka.
(SPN. G.P. Ade Darmawi: Syair Siak Sri Indrapua Dar al-Salam al-Qiyam)
 
Sebelum Sultan Alauddin Riayat Syah ke Tanah Semenanjung, baginda menunjuk dan mengangkat Tun Perkasa sebagai Mangkubumi Pekantua Kampar dengan gelar Raja Muda Tun Perkasa (1515 - 1526 M).

Sejak itu Pekantua Kampar diperintah oleh keturunan Raja Muda Tun Perkasa, yaitu Tun Hitam kemudian digantikan oleh puteranya Tun Megat.
 
Sementara di Johor mengalami kemajuan yang sangat pesat ketika dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II). Begitu juga di Pekantua Kampar.

Raja Muda Pekantua Kampar Tun Megat mengirim utusan ke Johor untuk meminta agar salah seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II kembali ke Pekantua Kampar untuk menjadi raja.
 
Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat dan mengirimkan kan salah satu keluarga dekatnya yang bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi raja di Pekantua Kampar.

Sekitar tahun 1590 M Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi raja dengan gelar Maharaja Dinda (1590- 1630 M) walaupun demikian terhadap Johor: kedudukan Raja Abdurrahman tetaplah sebagai Raja Muda Johor yang menjadi raja di Pekantua Kampar.

Sedangkan Tun Megat yang sebelumnya menjadi Raja Muda Pekantua Kampar dikukuhkan menjadi Mangkubumi, mewarisi jabatan kakeknya Tun Perkasa.
 
Setelah mangkat, Maharaja Dinda digantikan oleh puteranya Maharaja Lela I yang bergelar Maharaja Lela Utama (1630- 1650 M) yang membangun pusat pusat pelabuhan dagang: Bandar Telawa Kandis di hilir Tolam, Bandar Petodak di hilir Panduk dan Bandar Teluk Binjai di kuala Kerumutan.

Maharaja Lela Utama digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bangsawan (1650- 1675 M),
kemudian digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Utama II (1675 - 1686 M).

Pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan Pekantua Kampar dipindahkan ke Tanjung Negeri di kawasan sungai Nilo (anak sungai Kampar-sekarang termasuk wilayah desa Kuala Terusan kecamatan Pangkalan Kerinci).

Raja inipun tak lama memerintah, beliau mangkat dan digantikan oleh puteranya Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691 M). Pada masa pemerintahannya, Tanjung Negeri diserang wabah penyakit yang banyak menelan korban jiwa rakyatnya.

Namun para pembesar kerajaan belum mau memindahkan pusat kerajaan karena masih baru. Akhirnya baginda pun wafat dan digantikan oleh puteranya Maharaja Muda Lela (1691-1720 M), baginda berusaha memindahkan pusat kerajaan karena dianggap "sial" tersebab adanya wabah penyakit menular yang menyebabkan banyak rakyatnya menjadi korban-termasuk ayahandanya sendiri.
 
Setelah Maharaja Muda Lela mangkat, baginda digantikan oleh puteranya Maharaja Dinda II (1720-1751 M).

Pada masa pemerintahannya lah diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan Pekantua Kampar ke sungai Rasau. Pada tahun 1725 M dilakukan upacara pemindahan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai Rasau.

Dalam upacara adat itulah Maharaja Dinda II atau Maharaja Lela Perkasa atau sering juga disebut Maharaja Lela Dipati mengumumkan bahwa dengan kepindahan itu maka nama kerajaan Pekantua Kampar diganti menjadi kerajaan "Pelalawan".  

(Asal nama "pelalawan", berasal dari kata "lalau - dilalaukan" artinya: ditandai, dicadangkan). Sebutan kata "pelalawan" mempunyai hubungan dengan proses pemindahan pusat kerajaan.

Pada masa pemerintahan Maharaja Dinda II diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan Pekantua Kampar ke tempat yang oleh moyangnya yakni Maharaja Lela Utama pernah "dilalaukan" (ditandai- dicadangkan) untuk menjadi pusat kerajaan, yaitu di sungai Rasau salah satu anak sungai Kampar agak jauh ke hilir sungai Nilo).
 
Setelah mangkat baginda digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bungsu  (1750 - 1775 M). Pada masa ini kerajaan Pelalawan berkembang pesat, karena beliau membuka hubungan dagang; selain dengan Indragiri yang terus meningkat dengan Jambi melalui sungai Kerumutan, Nilo dan Panduk.

Hubungan dengan Petapahan melalui hulu sungai Rasau. Hubungan dengan Kampar Kanan dan Kampar Kiri melalui sungai Kampar
 
Pada tahun 1797 M kerajaan Siak menyerang Pelalawan di bawah pimpinan Said Otsman Syahabuddin, namun dapat ditangkis oleh Pelalawan. Tahun 1798 kerajaan Siak kembali menyerang Pelalawan yang dipimpin oleh Said Abdurrahman dan berhasil menguasai Pelalawan.

Said Abdurrahman kemudian dinobatkan menjadi raja Pelalawan dengan gelar Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822 M). Sejak itu kerajaan Pelalawan diperintah oleh keturunan Said Abdurrahman sampai raja terakhir, yaitu:

Syarif Abdurrahman (1798- 1822 M).
Syarif Hasyim (1822 - 1828 M).
Syarif Ismail (1828- 1844 M).
Syarif Hamid  (1844- 1866 M0.
Syarif Ja'far (1866 - 1872 M).
Syarif Abubakar (1872 - 1886 M).
Tengku Sontol Said Ali(1886 - 1892 M).
Syarif Hasyim II (1892- 1930 M).
Tengku Said Otsman (1930 - 1941 M).
Syarif Harun (Tengku Said Harun)(1941- 1946 M).
 
Walaupun masa pemerintahan Syarif Harun relative singkat, namun di zaman baginda banyak terjadi peristiwa penting, yakni: jatuhnya penjajahan Belanda yang kemudian digantikan oleh Jepang.

Selanjutnya terjadi perang kemerdekaan. Sultan Syarif Harun yang bergelar Assyaidis Syarif Harun Abdul Jalil Fakhruddin dalam tahun 1945 setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia menyatakan secara resmi dengan seluruh orang-orang Besar kerajaan Pelalawan pada tanggal 28 Oktober 1945 lebur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pernyataan peleburan ini diperkuat lagi dengan seluruh rakyat kerajaan Pelalawan pada tanggal 29 November 1945. Kemudian pada awal tahun 1946 M, baginda secara resmi menanggalkan gelar kesultanannya dan sejak itu berakhirlah keberadaan kerajaan Pelalawan.

Setelah Raja Tengku Said Harun mangkat, atas jasa-jasanya tersebut, beliau diberi gelar 'Marhum Setia Negara'. (Lipo)