Komnas PA Tolak Restorative Justice Untuk Kasus Perdagangan Anak di Riau

Rabu, 15 September 2021

Ilustrasi

Pekanbaru - Bahwa restorative justice atau keadilan restoratif  tidak tepat ditetapkan untuk penyelesaian perkara perdagangan anak yang terjadi di Riau. Pendekatannya harus dengan memberikan efek jera terhadap pelaku. 

Demikian diungkapkan Ketua Komnas PA Riau, Dewi Arisanty, kepada wartawan rabu (15/09). 

Menurut Dewi perihal restorative justice ini sesuai arahan bapak Kapolri hanya dalam upaya penanganan perkara UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 19 Tahun 2016 bukan untuk perkara berat seperti kasus perdagangan anak. 

"Untuk perkara UU ITE bukan untuk kasus anak atau perdagangan anak" kata Dewi. 

Komnas PA benar-benar mengawal penegakan hukum yang berkeadilan terhadap kasus anak di Riau.Dewi tidak ingin masyarakat terus-menerus merasa bahwa hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Ia menyatakan, Polri terutama Polda Riau harus bisa menempatkan diri sebagai institusi yang memberikan rasa keadilan.

"Kami menolak Restorative justice terhadap kasus perdagangan anak di Riau, dan meminta kasus ini segera dilimpahkan ke kejaksaan," ujarnya. 

Sementara itu, menurut pakar hukum pidana Mardjono Reksodiputro, ditulis oleh Jurnal Perempuan (2019), restorative justice adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban.

Mardjono mengatakan, restorative justice penting dikaitkan dengan korban kejahatan, karena pendekatan ini merupakan bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini yang cenderung mengarah pada tujuan retributif, yaitu menekankan keadilan pada pembalasan, dan mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya.

Penerapan restorative justice, bertalian dengan surat edaran, Kapolri juga menerbitkan surat telegram yang berisi tentang pedoman penanganan perkara tindak kejahatan siber yang menggunakan UU ITE. Surat telegram itu terbit pada 22 Februari 2021.

Lewat telegram, Kapolri menyatakan tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan cara restorative justice yaitu kasus-kasus pencemaran nama baik, fitnah, atau penghinaan. Ia pun meminta penyidik Polri tidak melakukan penahanan.

Sementara itu, kasus kejahatan terhadap anak, serta tindak pidana yang mengandung unsur SARA, kebencian terhadap golongan atau agama dan diskriminasi ras dan etnis, serta penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran tidak dapat diselesaikan dengan restorative justice.

Kasus Perdagangan Anak. 

Oknum Bidan (DN) diduga terlibat kasus kejahatan perdagangan manusia (human trafficking) berupa penjualan bayi di Pekanbaru.

Hal ini diketahui setelah Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Riau, mengungkap kasus kejahatan human trafficking ini.

Ketua Komnas PA Riau, Dewi Arisanty bahwa pihaknya mendapatkan informasi dari KR yang melaporkan ke Komnas Perlindungan Anak.

"Saat itu, KR yang tengah mengandung 6 bulan meminta tolong kepada salah satu oknum bidan di Klinik yang berada di Simpang Tiga Pekanbaru untuk mencarikan orang tua sambung bayinya jika lahir kelak," ucap Dewi kepada wartawan, Selasa, 20 April 2021 lalu. 
 
Oknum bidan tersebut mengiyakan permintaan dari KR dengan dalih akan ada pasangan suami istri yang akan mengadopsi anaknya nanti. 

"Saat KR melahirkan anak laki-laki dari hubungan gelap pacarnya, KR meminta DN mencarikan orang tua asuh anaknya tersebut karena malu membawa pulang," tambah Dewi.

Akhirnya KR menitipkan anak laki-laki ke bidan DN sembari berharap ada orang tua sambung yang akan membesarkan anaknya nanti.

"Namun terjadi salah persepsi, setelah anaknya dititipkan dan berencana melihat kondisi anak, dia mendapati anaknya sudah tidak ada ditempat (klinik bidan)," ujar Dewi.

KR akhirnya mendesak DN siapa orang tua asuh anaknya. DN yang merasa didesak meminta uang yang pernah diberikan kepada KR. DN juga mengancam jika ingin anaknya kembali balikan uang yang telah diberikan kepada KR.

"Merasa dirugikan, KR membuat laporan kepada Komnas PA Riau, dan pihak Komnas PA berkoordinasi dengan Dinas Sosial," sambung Dewi.

Ditengah perkara, Komnas PA Riau sedikit mengalami permasalahan, dimana oknum bidan tersebut sudah tidak kooperatif dengan malapor ke Dinas Sosial, bahkan mempertanyakan ke absahan dari Komnas PA Riau dalam melakukan pengungkapan kasus tersebut. 

"Dia (oknum bidan) datang sendiri ke Dinas Sosial, dan kembali mempertanyakan keabsahan saya, padahal dari awal sudah kami jelaskan. Sampai dia bersikeras kalau saya akan dipanggil Dinas Sosial," jelasnya. 

Perkara ini juga sebelumnya telah dimediasi oleh pihak Denpom TNI Jalan Ahmad Yani, orang tua kandung dipertemukan dengan pengacara Calon Orang Tua Asuh (Cota). Pertemuan ini mengingat bahwa oknum bidan tersebut merupakan istri dari anggota TNI yang bertugas di wilayah Pekanbaru. 

Pertemuan tersebut juga tidak membuahkan hasil, lantaran pengacara dari Cota meminta uang tebusan sejumlah Rp 100 juta dan ini di luar kemampuan orang tua kandung. 

"Nah ini yang patut dipertanyakan, atas dasar apa pengacara itu meminta uang Rp 100 juta dan berdalih uang tersebut untuk biaya perawatan anak," pungkasnya.

Setelah melalui proses panjang selama 4 Bulan, akhirnya diketahui yang mengadopsi anaknya tersebut dan dilakukan mediasi di Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Rumbai, Selasa, 20 April 2021.

Dari hasil mediasi antara Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Riau dengan Dinas Sosial, Direktorat Kriminal Umum (Ditkrimum) Polda Riau, orang tua kandung (KR), orang tua asuh di ruang rapat BRSAMPK Rumbai, orang tua asuh sepakat mengembalikan anak laki-laki tersebut ke KR.

Namun sebelum diterima KR, FW (anak laki-laki) dititipkan terlebih dahulu di Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Rumbai sampai adanya putusan pengadilan. 

Komnas PA juga berharap Polda Riau mengusut tuntas kasus human trafficking ini sampai adanya penetapan tersangka. (*)