Puan Maharani
Turki--Ketua DPR RI Puan Maharani menghadiri pertemuan forum parlemen Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia (MIKTA) yang digelar di Turki. Ia pun berbicara mengenai pentingnya arsitektur sistem internasional dalam menghadapi berbagai tantangan global.
Forum 8th MIKTA Speakers’ Consultation yang dihadiri Puan di Turki digelar di Sepetçiler Kasr?, Gedung Bersejarah di Istanbul. MIKTA sendiri dibentuk pada 2013 untuk memperkuat kerja sama di antara kelima negara itu untuk berkontribusi dalam menjawab berbagai masalah global.
Acara 8th MIKTA Speakers’ Consultation dibuka oleh Speaker of the Grand National Assembly of Türkiye Prof. Dr. Mustafa ?entop, Kamis (9/3/2023). Agenda forum konsultatif lima parlemen negara itu kali ini bertemakan ‘Multilateralism, Global Interdependence and Parliaments’.
Pada sesi pertama, Puan menyampaikan statement untuk pembahasan mengenai ‘Reforming the International System: Justice, Pluralism and Inclusiveness’. Sesi ini dimoderatori oleh Ketua Parlemen Turki, Mustafa ?entop.
Di awal sambutannya, Puan menyampaikan dukacita yang mendalam kepada Majelis Agung Nasional Turki dan kepada seluruh rakyat Turki atas bencana gempa bumi yang banyak menelan korban jiwa.
“Saya mendoakan agar para korban yang meninggal dapat diterima Allah SWT, dan para korban luka dapat cepat pulih kembali. Saya ingin sampaikan rasa simpati dan solidaritas Indonesia dengan rakyat Turki atas bencana yang terjadi ini,” kata Puan.
Perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu kemudian mengingatkan mengenai berlanjutnya ketidakpastian dunia global. Puan menyinggung mengenai perang di Ukraina, meningkatnya rivalitas antar kekuatan besar, terjadinya masalah kerawanan pangan dan energi, hingga tingginya inflasi.
“Di saat bersamaan, dampak pemanasan global menjadi lebih sering dan lebih buruk.
Semua masalah tersebut saling terkait dan akan semakin berdampak negatif, jika tidak ditangani secara cepat,” tuturnya.
Puan menegaskan, permasalahan global memerlukan solusi global yang hanya bisa didapatkan melalui kerja sama multilateral. Namun di saat dunia global memerlukan langkah bersama, sejumlah tantangan perpecahan pun timbul.
Mulai dari perbedaan sistem politik, decoupling ekonomi, disrupsi mata rantai global, hingga terbelahnya teknologi digital.
Sistem multilateral yang ada saat ini disebut merupakan peninggalan masa berakhirnya perang dunia II.
“PBB, terutama Dewan Keamanan, IMF, dan Bank Dunia sebagai representasi sistem multilateral dianggap sudah tidak sesuai dengan situasi abad 21,” ungkap Puan.
“Tantangan yang dihadapi saat ini tentu memerlukan arsitektur sistem internasional yang dapat menjawab semakin kompleksnya tantangan tersebut,” lanjut mantan Menko PMK itu.
Puan menyatakan, situasi internasional telah berubah sejak perang dunia II akibat kemajuan pembangunan ekonomi, dekolonisasi, demografi yang berubah, kemajuan teknologi, serta dampak dari tumbuhnya kekuatan politik dan ekonomi baru.
“Karenanya saya ingin sampaikan beberapa hal. Pertama, kita perlu merevitalisasi sistem multilateral agar tetap relevan dalam mengatasi berbagai masalah dunia abad 21. Kita perlu membuat global governance lebih inklusif, representatif, efektif, dan akuntabel,” papar Puan.
“Dalam hal ini PBB, IMF, dan Bank Dunia harus semakin responsif dan adaptif untuk berperan sesuai dengan keingingan seluruh anggotanya,” sambung cucu Bung Karno tersebut.
Puan menegaskan, sistem multilateral harus deliver dan bermanfaat bagi rakyat. Selain itu, sistem multilateral dinilai juga harus dapat berperan dalam mengatasi berbagai permasalahan seperti mengatasi perang, kemiskinan, pandemi, dan masalah ekonomi.
“Kedua, berbagai kawasan telah memiliki organisasi regional yang berperan efektif.
Karenanya sistem multilateral juga perlu memberi tempat dan mendorong penyelesaian berbagai masalah antar negara pada tingkat regional. Sehingga tidak semua isu perlu diselesaikan pada tingkat global,” terang Puan.
Menurutnya, hal tersebut sejalan dengan seruan Sekjen PBB untuk membentuk networked multilateralism yang merupakan jaringan antara PBB, lembaga ekonomi keuangan, dan organisasi regional untuk memajukan isu-isu yang menjadi kepentingan bersama.
Puan juga menilai negara-negara dapat berkontribusi melalui inisiatifnya masing-masing untuk meningkatkan kerja sama melalui berbagai forum internasional. Ia menambahkan, forum G20 telah menjadi premier forum for international economic cooperation dengan merepresentasi negara maju dan emerging economies yang mewakili 80% GDP dunia.
“G20 telah memberi contoh bahwa dunia di abad 21 perlu memberi tempat bagi emerging economies untuk duduk bersama dan mengambil keputusan bersama negara maju tekait masalah ekonomi dunia,” sebutnya.
Untuk langkah keempat menurut Puan, MIKTA sebagai kekuatan menengah perlu menyuarakan perlunya mendorong terbentuknya tata dunia abad 21 yang lebih inklusif dan representatif. Apalagi MIKTA telah menunjukkan bagaimana negara dari kawasan dan latar belakang berbeda dapat membentuk forum baru untuk membahas berbagai masalah dunia.
“Kelima, dalam hal belum terjadi revitalisasi sistem multilateral maka semua negara perlu menegaskan kembali ketaatannya kepada hukum internasional, piagam PBB, dan penghargaan kepada integritas teritori masing-masing negara,” urai Puan.
Peraih 2 gelar Doktor Honoris Causa ini pun menekankan agar negara-negara di dunia harus menegaskan perlunya menolak penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa. Puan menyatakan, negara pemilik nuklir juga harus menegaskan tidak akan menggunakan senjata nuklir jika sedang bersengketa dengan negara lain.
“Kita juga perlu mendorong terbentuknya saling kepercayaan antar negara (confidence and trust building) yang dibutuhkan disaat dunia menghadapi meningkatnya rivalitas kekuatan besar,” ujarnya.
Di sisi lain, Puan menilai diplomasi Parlemen juga harus menjadi bagian dari multilateralisme abad-21. Diplomasi abad 21 dinilai merupakan diplomasi yang lebih inklusif yang melibatkan berbagai aktor (multi stakeholder diplomacy).
“Keterlibatan Parlemen pada berbagai pembahasan isu global dapat meningkatkan legitimasi pada politik luar negeri masing-masing negara, dan juga legitimasi kesepakatan internasional,” kata Puan.
“Karenanya saya mengajak kita semua untuk terus melanjutkan dialog guna berkontribusi untuk merevitalisasi sistem multilateral yang sesuai dengan tantangan abad 21,” imbuhnya.
Anggota-anggota MIKTA yang lain turut memberikan intervensi. Indonesia juga mendapat giliran menyampaikan intervensi guna membahas lebih lanjut isu yang dibahas di sesi pertama pertemuan MIKTA di Turki ini.
“Terima kasih atas kesempatan memberikan intervensi tambahan. Pembahasan tentang sistem internasional ini menjadi semakin relevan mengingat dunia sedang mengalami berbagai krisis,” ucap Puan saat memberi intervensi.
Ditambahkannya, dunia baru saja melewati periode terburuk masa pandemi Covid-19. Puan mengingatkan bagaimana pandemi Covid-19 memberi pelajaran berharga bahwa tiadanya kerja sama internasional pada masa awal pandemi mengakibatkan banyak korban berjatuhan.
“Tidak terkendalinya rivalitas antara kekuatan besar juga berkontribusi menyebabkan perang di Ukraina. Untuk itu kita memerlukan multilateralisme abad-21 yang relevan untuk mengatasi berbagai tantangan bersama ini,” tegasnya.
Oleh karenanya, Puan menekankan agar peran parlemen semakin besar dalam memperkuat diplomasi abad 21 ini. Ia menyebut, parlemen tidak dapat berdiam diri karena berbagai krisis global telah berdampak negatif bagi konstituen atau rakyat.
“Demikian pula MIKTA Speakers Consultation, kita perlu pertimbangkan untuk juga bertemu lebih sering, jika diperlukan. Jika terjadi hal-hal mendesak, kiranya kita juga dapat segera bertemu, misal secara virtual,” tukas Puan.
Dalam 8th MIKTA Speakers’ Consultation ini, Puan hadir didampingi oleh sejumlah anggota DPR RI. Delegasi parlemen Indonesia yang mengikuti agenda MIKTA di Turki bersama Puan yakni Ketua Komisi IV DPR RI Sudin dan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Charles Honoris. (rls)