Dorong Investasi Migas untuk Cegah Krisis Energi

Senin, 03 April 2017

Ilustrasi Kilang Minyak dan Gas di Lepas Pantai (Istimewa)

RADARPEKANBARU.COM - Krisis harga minyak dunia yang terjadi telah membawa dampak negatif pada berbagai sektor di luar minyak dan gas bumi (migas). Efek domino ini terus menjalar bahkan sampai ke Indonesia, yang berakibat pada tersendatnya pertumbuhan ekonomi, terkendalanya kemajuan pembangunan pembangkit listrik, turunnya penyerapan angka tenaga kerja, tertundanya proyek infrastruktur, hingga dampak sosial lainnya yang lebih luas di masyarakat.

Peneliti dan Pengamat Energi Senior, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, akibat langsung yang dirasakan pada sektor migas adalah berkurangnya kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan migas yang baru, berkurangnya program pengeboran dan perawatan sumur, pengurangan tenaga kerja, serta turunnya minat investor terhadap penawaran wilayah-wilayah kerja baru oleh Pemerintah. Apabila permasalahan ini tidak segera diselesaikan, lanjutnya, Indonesia harus bersiap memasuki babak baru krisis energi.

"Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia sedang memasuki krisis energi, dan dampak dari kondisi ini juga mulai dirasakan oleh sektor-sektor lain. Sikap pemerintah yang tegas sangat diperlukan agar resiko krisis energi di dalam negeri tidak berdampak lebih luas pada industri lainnya," ujar Pri Agung dalam siaran pers yang diterima Beritasatu.com, Senin (3/4).

Ia menjelaskan, beberapa daerah di Indonesia mulai mengalami penundaan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan dan perlambatan kinerja perekonomian, terutama di daerah-daerah penghasil migas. Tekanan APBD yang paling besar terjadi di Provinsi Riau, Dana Bagi Hasil (DBH) migas berkurang secara signifikan sejak 2014-2016, yaitu sebesar Rp 4,02 triliun.

"Secara tidak langsung dampak dari krisis ini telah mempersempit peluang masyarakat untuk berusaha dalam sektor ekonomi lainnya," tambahnya.

Pada sisi lain, kata Pri Agung, ketidakpastian pasokan gas yang diperuntukkan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), juga menjadi salah satu kendala pada proyek 35.000 MW yang sedang dikembangkan pemerintah. Belum lagi, Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai operator masih sibuk berkutat pada persoalan harga gas dengan pihak suplier.

"Sehingga, sampai sekarang belum dapat dipastikan pasokan gas akan diperoleh dari lapangan gas yang mana," jelasnya.

Berdasarkan catatan Katadata, ujar Pri Agung, banyak perusahaan jasa pendukung di industri migas yang sudah tidak lagi beroperasi, dan bahkan lebih dari 24.000 pekerja sektor migas mengalami kehilangan pekerjaan. Begitu juga di sektor perhotelan dan pariwisata. Tingkat keterisian (okupansi) bisnis perhotelan di wilayah penghasil migas mengalami penurunan drastis sebesar 40 persen hingga 50 persen, sehingga diikuti dengan pengurangan pegawai sebesar 5 persen hingga 20 persen.

"Krisis migas yang terjadi ternyata memberikan efek domino kepada sektor-sektor lainnya, baik yang langsung ataupun tidak langsung," tuturnya.

Dorong Investasi Migas

Pengamat Sosial dari Universitas Nasional (Unas), Sigit Rochadi, menambahkan, dampak krisis akan jauh lebih luas terjadi di sektor lainnya, seperti pengangguran, kegoncangan ekonomi keluarga, menurunnya kesejahteraan ekonomi hingga berujung pada munculnya persoalan kriminalitas.

"Melihat gambaran di atas, pemerintah harus segera mengambil berbagai langkah strategis untuk mengatasi dampak dari krisis migas ini. Kebijakan yang mendorong investasi migas sangat diperlukan demi kembali meningkatnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas, terutama untuk menemukan sumber-sumber cadangan baru," kata Sigit.

Pada 2030, kebutuhan energi Indonesia diperkirakan meningkat menjadi 2,8 juta barrel oil equivalent (BOE), atau hampir tiga kali lipat dari kebutuhan energi saat ini.

"Dibutuhkan langkah tepat dari pemerintah untuk menjamin ketersediaan energi di masa mendatang khususnya yang berasal dari produksi migas domestik," pungkasnya.


Feriawan Hidayat/FER

BeritaSatu.com