Kanal

Selamat Kepada DR. H. Akbarizan,MA.,M.Pd Sukses Meraih Gelar Profesor

RADARPEKANBARU.COM- Dekan Fasih UIN Suska Riau, DR. H. Akbarizan,MA.,M.Pd resmi meraih gelar profesor , Ucapan salam ukhuwah dari PROF. DR. KH. ILYAS HUSTI, MA.

Atas Nama Direktur Pascasarjana UIN SUSKA Riau, Ketua Umum MUI Kota Pekanbaru, Ketua Harian Masjid Agung Ar Rahman Kota Pekanbaru dan Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Kampar Riau.

"Saya PROF. DR. KH. ILYAS HUSTI, MA dan Keluarga mengucapkan SELAMAT DAN SUKSES UNTUK PROF. DR. H. AKBARIZAN, MA.,M.Pd atas Prestasinya meraih Gelar Tertinggi di Akademik yaitu GURU BESAR / PROFESOR.Semoga membawa keberkahan dan Kemajuan untuk UIN SUSKA RIAU serta Dunia Pendidikan baik di Riau Maupun di Nasional dan Internasional," tulis Direktur Pasca Sarjana UIN Suska Riau ILYAS HUSTI melalui akun facebook resminya, (17/10).

Profesor Bukan Gelar Akademik

Dikutip dari tulisan Adnan Kasry, Guru Besar Manajemen Sumberdaya Perairan dan dosen Ilmu- ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Univeritas Riau  Sumber : Riau Pos (13 Juni 2006)

Keberadaan Guru Besar atau lebih dikenal dengan sebutan Profesor pada sebuah Perguruan Tinggi (PT) akan mencerminkan salah satu tingkat kemajuan dan wibawa dari PT tersebut. Akan sangatlah bermakna apabila profesor yang masih aktif menghasilkan karya ilmiah dan buah pemikiran yang bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemaslahatan masyarakat.

Tetapi, akhir-akhir ini ada kerancuan sebutan profesor, apakah itu merupakan gelar akademik ataukah jabatan akademik. Kapan waktunya seorang profesor tetap dibolehkan menggunakan kata "Prof " di depan namanya. Kerancuan ini antara lain dipicu antara lain oleh pewisudaan 148 tenaga peneliti yang telah mencapai Ahli Peneliti Utama dalam lingkungan Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) awal Januari lalu.

Tidak jarang di kalangan akademik sendiri ada yang beranggapan bahwa profesor adalah gelar akademik tertinggi di PT, bahkan Mendiknas Prof Dr Bambang Sudibjo, entah keseleo atau wartawan yang salah kutip dalam satu wawancara juga menyebut "gelar Profesor " (Tempo, April 2006). Di kota-kota besar juga sering kita temukan nama jalan atau gedung dengan nama-nama orang ternama yang sudah almarhum seperti Jalan Prof Muhammad Yamin SH, RSU Prof Dr Yulianto Saroso (RS untuk penanganan kasus Flu Burung Jakarta), bahkan Jalan di Kampus Unri Binawidya Panam juga ada Jalan Prof Dr Mukhtar Luthfi (almarhum).

Dalam dunia akademik, gelar tertinggi yang dicapai oleh seorang sarjana pada program pasca sarjana, yakni Program Doktor (S3) atau Doktor yang diberikan oleh suatu perguruan tinggi yang telah membuat dan mempertahankan disertasinya. Penyebutan gelar untuk tamatan S3 adalah Doktor disingkat Dr (bukan DR, atau dr untuk dokter) untuk lulusan dalam negeri, ataupun PhD: Philosophy Doctor untuk lulusan luar negeri, dan seringkali disesuaikan dengan bidang keahliannya seperti Doctor of Science (DSc), Doctor of Laws (DL), Doctor of Bussiness Administration (DBA).

Di samping itu, kitapun mengenal Doctor Honoris Causa (Dr HC) sebagai gelar kehormatan tertinggi yang diberikan oleh perguruan tinggi yang memiliki program doktor kepada seseorang sebagai penghormatan atas jasa-jasanya yang luar biasa di bidang ilmu yang telah dipelajarinya (IPTEK, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni), walaupun yang bersangkutan tidak pernah menamatkan pendidikan pada sekolah formal, seperti Prof Dr (HC) Hamka, Dr (HC) Rosihan Anwar, ataupun sarjana seperti Dr (HC) Tenas Effendy (itulah sebabnya Unri belum dapat memberikan gelar Dr HC kepada beliau karena Unri belum memiliki program doktor di bidang kebudayaan).

Prof Dr Ir Andi Hakim Nasoetion (almarhum) mantan Rektor IPB Bogor dalam satu tulisannya mengatakan bahwa sesorang baru memenuhi syarat menjadi pengajar (akademisi di PT) kalau telah memiliki sertifikat mengajar berupa gelar magister atau master (artinya "ahli ", yaitu seseorang yang menguasai suatu keahlian tertentu, atau lebih baik lagi gelar Doktor (artinya memberi kuliah), bukan Akta V. Karena gelar itu memberikan bukti bahwa pemegangnya memiliki kreativitas, pengetahuan dasar, dan ketekunan bekerja sebagai peneliti, dan menghasilkan karya-karya ilmiah.

Pada PT di Indonesia saat ini, bagi dosen dikenal adanya jenjang jabatan dan pangkat dosen, yang dimulai dari Asisten Ahli (Gol. III/A-III/b), Lektor (III/c-III/d), Lektor Kepala (IV/a-IV/c) dan Guru Besar/Profesor (IV/d-IV/e). Dosen yang berpendidikan Doktor (S3), berprestasi dan memiliki angka kredit yang cukup di bidang pendidikan-pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan penunjang, dapat loncat jabatan dari Lektor ke Profesor, tetapi pangkat regulernya tetap mengikuti aturan kepangkatan biasa (golongan naik bertingkat). Adanya aturan terakhir ini, termasuk adanya tabungan angka kredit yang belum dipakai, tentulah sangat memungkinkan doktor-doktor muda segera dapat meraih jabatan Profesor, di bawah umur 40 tahun. Tidak seperti dosen sebelumnya, walapun hanya disyaratkan berpendidikan sarjana saja, sebagian besar meraih jabatan Profesor setelah cukup lama mengabdi sebagai akademisi, sudah ubanan bahkan karena sudah tua diplesetkan dengan "profesor linglung ".

Di luar negeri, pangkat awal akademik dimulai dengan Assistant Professor yang agaknya setara dengan Lektor. Dalam empat sampai tujuh tahun ia harus mampu memenuhi syarat untuk diangkat sebagai Associate Professor dengan menunjukkan kemampuannya meneliti dan mengajar yang dicerminkan oleh kemampuannya menerbitkan makalah ilmiah dan buku ajar yang sekaligus mencerminkan keahlian khusus yang dimilikinya dalam bidang ilmu yang digelutinya. Kalau dalam enam tahun ia tak mampu memenuhi persyaratan tersebut, biasanya ia diberitahu bahwa kontrak kerjanya habis pada tahun berikutnya.

Berarti baginya tertutup kemungkinan untuk meraih jabatan profesor di PT tersebut. Persyaratan naik pangkat ini berupa bukti kemampuannya memberi kuliah secara mandiri, membimbing mahasiswa dan melakukan penelitian. Setelah mencapai pangkat Associate Professor barulah seorang tenaga akademik berstatus dosen tetap, dan telah berstatus tenur. Semenjak Ass Prof tenaga akademik tersebut harus menghasilkan penelitian yang cukup banyak dirujuk orang karena merupakan hasil pemikiran yang bernas, serta telah cukup banyak membimbing mahasiswa program doktor yang disertasinya juga bermutu tinggi.

Berdasarkan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, universitas, institut, atau sekolah tinggi dapat mengangkat Guru Besar atau Profesor. Seorang dapat diangkat dalam jabatan akademik profesor adalah dosen yang memiliki kualifikasi doktor (UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen). Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor. Profesor mempunyai kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebar luaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat.

Jelas kiranya, bahwa Guru Besar atau Profesor bukanlah gelar akademik tertinggi tetapi adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang mengajar di lingkungan perguruan tinggi yang diakui pemerintah dan masyarakat serta melaksanakan ketiga Tri Dharma Perguruan Tinggi (mengajar, meneliti dan mengabdi kepada masyarakat). Itulah sebabnya Surat Keputusan Bersama Nomor 128/2004 antara Menteri Negara PAN, Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Riset dan Terknologi tentang Jabatan Fungsional Peneliti dalam bentuk pemberian (gelar ) Profesor Riset bagi para peneliti APU pada LIPI yang hanya melakukan penelitian, saat ini dipersoalkan oleh kalangan perguruan tinggi (Forum Rektor) dan diusulkan untuk dicabut.

Batas usia pensiun Profesor adalah 65 tahun, dan dapat diperpanjang sampai usia 70 tahun setelah memenuhi persyaratan dan tata cara perpanjangan usia pensiun. Antara lain syaratnya adalah harus memiliki gelar doktor (Permendiknas No 27/2005). Profesor yang telah mengakhiri masa jabatannya dapat diangkat kembali menjadi Profesor Emeritus di PT yang bersangkutan sebagai penghargaan istimewa dari Senat PT. Bahkan seorang Profesor yang memiliki karya ilmiah yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi Profesor Paripurna.

Sebutan Guru Besar atau Profesor, hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja(sebagai pendidik/pengajar) di PT nya (UU No 20/2003/SISDIKNAS). Sedangkan Profesor yang dipekerjakan di PT Swasta yang diakui pemerintah untuk dapat diperpanjang usia pensiun dan diangkat menjadi Profesor Emeritus harus diusulkan oleh PT nya kepada Mendiknas melalui Kopertis dengan persyaratan dan tatacara pengusulan seperti yang berlaku pada PT Negeri. Karenanya seorang Profesor yang telah pensiun, secara akademik tidak berhak lagi menuliskan kata "Prof " di depan namanya, apalagi untuk nama jalan ataupun nama sarana lainnya. Bahkan ada profesor yang karena kesibukannya bertugas sebagai birokrat sehingga tidak ada waktu untuk melaksanakan Tri Dharma PT, yang bersangkutan menanggalkan sebutan Profesor di depan namanya. (radarpku)
 

Ikuti Terus Riaupower

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER