Kanal

Inilah KH Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

RADARPEKANBARU.COM- Pada Jum'at, 22 Januari 2016, KH Nasaruddin Umar resmi memimpin Masjid Istiqlal Jakarta setelah pelantikan beliau sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal oleh Menteri Agama RI. Sosok ahli tasawuf yang dikenal sangan santun, tawadhu, dan tak banyak bicara ini serasa menjadi angin segar bagi umat Islam di Indonesia.

Di saat muslimin Indonesia bergembira dan senang atas terpilihhnya KH Nasaruddin Umar, ada saja segelintir manusia yang tidak menyukainya dan bahkan menuduh dan melakukan fitnah kepada beliau. Tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh kaum minoritas itu mempunyai agenda propaganda untuk memecah belah umat Islam khususnya di Indonesia.

Untuk itulah, agar kita terhindar dan tidak terjerumus ke dalam golongan "Ahlul Fitnah wal Jama'ah" itu, sebaiknya kita mengenal lebih dalam siapakah KH Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal yang baru itu. Berikut adalah sedikit biografi kisah kehidupan pribadi seorang Nasaruddin Umar yang dikisahkan langsung oleh sahabat dan pegawai dekat beliau, Sigit Kamseno, S.Sos, yang menjabat sebagai Staf Wakil Menteri Agama RI. Kisah ini beliau utarakan pada November 2014 silam.


NASARUDDIN UMAR YANG SAYA KENAL

Prolog


Dua hari belakangan, beredar broadcast  di dunia maya mengenai kunjungan mantan Wakil Menteri Agama, Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA, ke negeri para mullah, Iran. Kunjungan itu kemudian dikaitkan dengan perhelatan muktamar sebuah ormas Syiah, Ahlul Bait Indonesia, yang kebetulan digelar di Auditorium H.M. Rasjidi, Gd. Kementerian Agama, Jakarta, Jumat (14/11/2014).

Broadcast itu diakhiri dengan kesedihan atas ketidakpedulian umat atas kehancuran agama. Singkatnya, isi broadcast tersebut seperti ingin menunjukkan bahwa ada talian sistematis antara kunjungan Prof. Nasar ke Iran dengan Muktamar Syiah di Kemenag sebagai sebuah kebangkitan Syiah di Indonesia dan ketidakpedulian umat Islam atas hancurnya agama.

Karena membawa tendensi agama, pesan  viral itu menyebar demikian cepat. Bahkan, di “handphone layak pakai” saya, pesan serupa menyebar di sejumlah grup whatsapp. Sebagian meminta klarifikasi, sebagian menuding, lainnya menjapri saya utk meminta penjelasan.


Dua Hal Berbeda

Tulisan ini saya buat untuk semua rekan dari kelompok manapun, baik yang (barangkali) membela Syiah, maupun menentangnya. Saya ingin mengatakan begini,

Pertama, Muktamar Ahlul Bait Indonesia (ABI) di Gd. Kemenag itu tidak ada kaitannya dengan kunjungan Prof. Nasar ke Iran. Kegiatan ABI tersebut adalah kegiatan insidental, sementara jadwal perjalanan Prof. Nasar ke Iran sudah diagendakan jauh-jauh hari. Itu dua hal yang tidak saling berkaitan.

Kedua, terkait acara penganut Syiah di Kemenag, perlu diketahui bahwa Kementerian Agama memang mengakomodasi semua agama dan aliran kepercayaan. Tugas Kementerian Agama adalah menjaga kerukunan intra dan inter penganut agama-agama. Untuk itulah regulasi-regulasi mengenai kehidupan keberagamaan ditelurkan guna memfasilitasi dan menjaga keharmonian dan kerukunan antar umat beragama. Selain penganut Syi’ah, penganut Baha’i, Konghucu, Islam, Wetutelu, Kristen, Hindu, Buddha, Rahayu, dll., merupakan warga yang berkepentingan dengan Kemenag. Urusan pinjam meminjam tempat tidak mesti diangap sebagai justifikasi, terkadang alasannya bersifat teknis karena ruangan yang dianggap representatif, seperti penggunaan auditorium Kemenag pada "Sidang Kode Etik Pemilu" lalu, atau alasan-alasan lain dimana Kemenag sebagai pemerintah perlu memberikan fasilitas bagi warga negara.

Ketiga, perjalanan Prof. Nasar ke Iran adalah sebagai peserta aktif sekaligus menjadi narasumber dalam Konferensi Thabataba’i. Bagi para cendekiawan, menjadi narasumber dalam dialog lintas agama atau madzhab adalah hal yang sangat lazim. Jika rekan-rekan sempat berkunjung ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atau kampus-kampus Islam lain, maka dialog antar madzhab atau agama merupakan hal yang tidak sulit dijumpai. Prof. Nasaruddin Umar dan Prof. Din Syamsuddin adalah dua dari sekian tokoh yang rutin menjadi narasumber dalam international interfaith dialogue di sejumlah negara.

Keempat, selain ke Iran, beliau juga kerap menjadi narasumber di negara-negara lain, seperti Turki, Amerika, Negara-negara Eropa, dan seterusnya. Saat ini (20/11/2014) beliau sedang berada di Mesir, apakah akan diisukan pula bahwa kunjungan itu merupakan dukungan Prof. Nasar terhadap rezim kudeta As-Sissy? Beberapa waktu lalu beliau lakukan kunjungan ke Hongkong, menjadi tamu kehormatan Master Chin Kung, apakah akan dikatakan pula bahwa beliau adalah pendukung salahsatu aliran Agama Buddha tersebut? Tentu saja tidak. Hanya saja, sebagian orang yang memosisikan dirinya sebagai “analis” terkadang mengaitkan dua hal tak relevan seolah-olah saling berkaitan. Rekan tentu tahu bagaimana cara pengamat mengait-ngaitkan hal yang tidak relevan menjadi nampak saling berkait.

Kelima, Prof. Nasar saat ini bukan lagi Wakil Menteri Agama. Kapasitas Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu dalam kunjungan ke Iran hanyalah sebagai cendekiawan. Oleh karena itu mengaitkan Muktamar Ahlul Bait Indonesia di Kemenag dengan kunjungan beliau sebagai akademisi yang tidak punya otoritas apa-apa lagi di Kemenag adalah pandangan yang terlalu dipaksakan.  

Nasaruddin Umar yang Saya Kenal

Perlu sahabat sekalian ketahui,  Prof. Nasaruddin Umar terlibat sangat aktif dalam berbagai kegiatan dakwah Islam. Saya seringkali mendampingi beliau dalam berbagai acara, bahkan saya makan di rumah beliau, juga kerap ditawarkan menginap di rumahnya jika pulang terlalu malam.

Selama di mobil sepanjang perjalanan untuk mengisi ceramah atau agenda-agenda di berbagai tempat, rutinitas pimpinan pondok pesantren al-Ikhlash di Bone, Sulawesi Selatan, dan Kendari, Sulawesi Tenggara, itu hanya empat:

Membaca al-Quran sepanjang perjalanan dengan mushaf ukuran saku, mendengarkan murattal As-Sudais di TV mobil, berdizkir sambil memilin biji-biji tasbih (ada sekitar tiga untai tasbih di mobil), atau menerima telepon. Kitab-kitab turats di rumahnya lengkap dari berbagai golongan dan madzhab menjadikan pemikiran beliau amat kaya. Belum lagi kitab-kitab kontemporer.

Saya ingin gambarkan Rutinitas keseharian beliau seperti ini:

Beliau bangun sekira pukul 02.00 WIB untuk shalat Tahajjud, dan hanya tidur tiga jam setiap harinya. Selepas shalat Tahajjud menjelang Shubuh, ia sempatkan menulis sekitar 10 halaman di kamar depan yang dindingnya tak terlihat karena dipenuhi buku. Jika sedang  bermalam di kediaman, beliau selalu memipin shalat Shubuh yang dilanjutkan dengan Kultum Shubuh di Masjid Baitul Makmur, 500 meter dari kediamannya di Ampera, Jakarta Selatan.

Jamaah kajian rutinnya di Masjid Sunda Kelapa ribuan orang setiap Senin dan Kamis malam. Belum lagi jamaahnya di Masjid at-Tin, Jakarta Timur, Masjid Raya Bintaro, Masjid Bintaro Jaya, dan sejumlah masjid lain.

Beliau adalah sosok yang sangat sabar. Tidak banyak bicara. Jika tidak menyukai sesuatu beliau diam sehingga kami tahu jika beliau sedang tidak berkenan terhadap sesuatu. Satu hal yang perlu sahabat ketahui, beliau senantiasa shaum Senin Kamis sekalipun dalam perjalanan yang sangat jauh, ke Eropa, misalnya.

Sebagai atasan, beliau selalu menasihati kami agar selalu membiasakan shalat berjamaah, jangan sampai menomorduakan Shalat hanya karena pekerjaan, begitu selalu. Beliau yang juga menjabat sebagai Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran itu juga selalu  menyeru kami untuk dekat kepada al-Quran, mendirikan shalat malam, dan juga merutinkan shaum Senin Kamis.

Pernah dalam sebuah kesempatan ceramah, beliau bilang: "Saya disebut-sebut sebagai bagian dari Jaringan Islam Liberal (JIL), padahal saya sama sekali tak punya kaitan dengan kelompok tersebut".

Tapi beliau tak pernah memusingkan hal yang remeh. Biarkan tudingan itu menjadi urusan mereka dengan Tuhan. Doktor terbaik UIN Jakarta yang masuk dalam 500 Most Influental Muslims in the World itu tak pernah fikirkan pandangan manusia terhadap dirinya.

Dalam beberapa kesempatan saya mendengarkan ceramah beliau, seringkali mengkritik JIL yang dianggapnya terlalu berfikir bebas. Belum lama, di hadapan enam ribuan mahasiswa IAIN Palembang beliau ulang kembali, bahwa umat ini lemah karena terpecah, dan beliau tak  bersetuju dengan liberalisme dalam pemikiran Islam. Katanya, Islam lemah karena terpecah dalam titik-titik ekstrem. Baik yang liberal maupun yang jumud dalam memahami agama.

Rekan-rekan, perlu diketahui bahwa beliau memang ulama tasawuf, dan tidak banyak orang memahami alur berfikir kalangan sufi. Orang yang tak memahaminya kerap menuding sesat tanpa landasan yang kokoh. Padahal ia dekat dengan seluruh ulama. Baik dengan Ulama Timur Tengah seperti Wahbah Zuhaili, Yusuf al-Qaradhawy, dst maupun ulama Nusantara.

Apakah rekan-rekan cinta kepada KH. Ali Mustafa Yaqub, KH. Hasyim Muzadi, ust. Hidayat Nurwahid, KH.Syukran Makmun? Jika iya, saya ingin sampaikan beliau seringkali bertemu mereka, mereka sangat akrab dan kerap berbicara dalam forum-forum keagamaan, atau dalam undangan-undangan di kedutaan negara Timur Tengah. Belum lama beliau juga menerima dengan akrab ketua LPPI, Ustadz Amin Djamaluddin, yang dikenal cukup keras. Demikian pula dengan Pelajar Islam Indonesia, Syarikat Islam, dll. Bahkan, Ormas Gerakan Reformis Islam yang dikenal “keras” (mohon perhatikan tanda kutip) pun bertamu kepada beliau.

Beliau adalah sosok sahaja yang sangat cinta kepada ulama. Pernah dalam satu agenda yang berbenturan, beliau amat berat meninggalkan acara bersama ulama-ulama sepuh di Jawa Tengah karena berbenturan dengan agenda kedinasan.

Beliau yang merendah mengatakan: "para ulama, para sesepuh, bimbinglah kami yang dhaif ini", padahal siapa yang meragukan kapasitas keilmuan beliau yang oleh Ketua Umum MUI, Prof.  Din Syamsuddin disebut "sangat paham agama"?

Dalam sebuah acara di Madinah, beliau diundang sebagai tamu kehormatan kerajaan karena keimuannya di mata ulama dan penguasa Saudi, beliau juga mendapat secara khusus potongan kain Kiswah dari Pemerintah Arab sebagai sebentuk ihtiram.

Apakah antum cinta kepada Ust. Amir Faishal Fath dan Ust. Adian Husaini, saya menjadi saksi betapa beliau dihormati oleh ust. Amir, berpelukan ketika bertemu dan saling bertanya kabar dalam bahasa Arab. Beliau juga acap dijadwalkan sebagai penceramah bareng dengan ustadz Firanda Andirja di Masjid Kementerian Pertanian, bersama Ust.Syafiq Riza Basalamah.

Dengan Ust. Adian Husaini juga tak berbeda. Kedua tokoh itu terlibat sebagai juri pada perhelatan Islamic Book Fair 2014. Mantan Dirjen Bimas Islam itu memang selalu menjadi Dewan Pembina IBF dari tahun ke tahun. Sebuah pagelaran yang sangat bermanfaat dan dinanti-nantikan ummat termasuk kalangan aktivis Islam, yang ironisnya karena ketidaktahuan kerap menstigmatisasi beliau sebagai bagian dari kelompok JIL. Padahal waktu-waktu beliau terpakai untuk rapat demi rapat IBF. Beliau juga merupakan penggagas dan kontibutor pembangunan Masjid Ground Zero, bekas reruntuhan menara WTC di Amerika sana.

Beliaulah yang berdarah-darah memperjuangkan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) sejak masih menjabat Dirjen Bimas Islam, sebuah RUU yang pembahasannya sangat panjang dan alot bahkan sampai menghabiskan dua kali masa sidang. Ada baiknya rekan-rekan ketahui, satu hari sebelum RUU JPH itu diundangkan, tak seperti biasa beliau terlihat sangat gelisah di kantor karena mendengar ada upaya penjegalan lagi terhadap UU yang melindungi ratusan juta umat Islam itu. Penebar Broadcast kemarin sudah melakukan apa?

Jika kebencian dan apriori sudah menguasai hati, maka celah sekecil apapun yang bisa dimanfaatkan untuk ditebar sembari merasa telah membela agama. Padahal ia tak tahu hal tersebut bisa menjadi sandungan baginya di akhirat kelak.

Beliau pula yang berjuang sangat keras untuk diundangakannya UU Perbankan Syariah, hingga pulang demikian larut malam dan lelah, demi payung hukum bernama UU yang melindungi kehidupan ekonomi ummat atas dasar Islam itu. Saat ini pun beliau masih aktif dalam Komite Pengembangan Jasa Keuangan Syariah (KPJKS), dan  masih aktif sebagai narasumber dalam kajian-kajian yang diadakan oleh MES (Masyarakat Ekonomi Syariah). Selain itu beliau juga duduk sebagai Dewan di BAZNAS dan Badan Wakaf Indonesia.

Akankah perjuangan yang sedemikian rupa akan dilakukan oleh orang-orang JIL yang acapkali nyinyir terhadap segala sesuatu yang berbau syariah?

Selain itu...

Beliau sebetulnya mendapatkan fasilitas rumah dinas, tapi beliau tidak mau mengisi rumah dinas itu karena, sebagaimana disampaikan pada kami dalam sebuah obrolan, beliau khawatir ada aset negara digunakan untuk kepentingan pribadi. Baginya, lebih baik rumah pribadinya yang digunakan untuk kepentingan negara. Rumah Dinas itu pun akhirnya digunakan oleh seorang pejabat eselon satu di Kemenag.

Saat pengarahan rutin bulanan kepada para staff, beliau katakan: "jika waktu makan siang, jangan terlalu menyediakan makanan yang mewah. Saya ini santri. Cukup makanan sederhana saja." Bahkan pernah beliau makan nasi kotak di dalam mobil ketika hendak ke istana. Sebuah episode langka yang sangat jarang kita dapati di kalangan para pejabat.

Rekan-rekan, percayalah hanya orang besar yang bisa menghormati orang besar. Jangankan seorang Nasaruddin Umar, Yusuf Qaradhawy saja disebut sebagai agen Islam liberal oleh Charles Kurzman, silakan rekan-rekan baca bukunya "Liberal Islam" yang tebal itu dan lihat pada urutan berapa Qardhawy disebut sebagai ulama Islam liberal.

Sahabat sekalian, orang-orang besar tak pernah tanggapi berlebihan tudingan-tudingan terhadap mereka. Bukan karena sesuai dengan apa yang dituduhkan, tetapi karena tugas mereka terlalu banyak dari sekadar menanggapi hal-hal yang remeh temeh. Ummat yang punya bashirah yang akan memahaminya.

Bukankah yang nyaring bunyinya adalah tong yang kosong, yang hanya karena membaca buku "50 tokoh Islam liberal di Indonesia" lantas menjadikan buku itu selayak 'kitab suci', lalu merasa sudah bisa memvonis seorang ulama yang waktunya dihabiskan untuk khidmat kepada ummat. Yang hanya karena membaca wawancara di islib.com sertamerta menuding tokoh ini JIL tokoh itu JIL?

Mereka merasa sudah menyelam ke lautan dalam, padahal sebetulnya mereka masihlah di tepian pantai. Uang receh memang berisik bunyinya.

Biarkan saya yang menjelaskan, karena saya yang punya waktu lebih banyak. Beliau bukan lagi Wakil Menteri, sehingga rekan-rekan tak perlu ragu akan ketulusan saya menulis artikel ini. Sementara Prof. Nasaruddin waktunya terlalu sibuk. Senin dan Kamis malam beliau mengisi pengajian di Masjid Agung Sunda Kelapa. Beberapa waktu di Jumat malam mengisi kajian Tanwirul Qulub di kantor Kemenag. Tiap Ahad Shubuh beliau rutin kajian Shubuh di Masjid Bintaro, Sabtu pekan kedua ceramah di Masjid at-Tin dan PW Muslimat NU DKI. Belum lagi ceramah-ceramah rutin lain di sekolah-sekolah, kampus, masjid pasar, hingga majlis taklim kaum ibu.

Selama ada waktu masih tersisa beliau tak pernah bedakan jamaah kaum elit maupun pengajian di kampung-kampung. Dan beliau tak pernah tanyakan honor ceramah, karena sebagaimana yang beliau sering katakan, dirinya sudah ia wakafkan untuk umat. Tulisan-tulisan tasawufnya di media massa bahkan tanpa bayaran sebab beliau ikhlaskan untuk pegawai yang bekerja di perusahaan media itu.

Satu hari ust. Yusuf Mansur melihat Prof. Nasar di bandara, lalu segeralah ust. YM bergegas menghampiri, ucapkan salam dan dan merendah selayaknya santri kepada kyai. pertanyaannya: "Apakah mungkin seorang Ust. YM berlaku sedemikian kepada seorang tokoh Liberal?"

Ust. Arifin Ilham pernah meminta Prof.Nasar untuk sampaikan taushiyah bagi ribuan jamaah dzikir rutin bulanan adz Dzikra di Sentul. Saya sendiri yang mengonfirmasi untuk make sure waktu dan tempat ke ust. Arifin Ilham. Apakah tega kita katakan: "ust. Arifin Ilham pernah meminta tokoh Liberal agar memberi nasihat kepada ribuan umat Islam di jamaah dzikirnya?

Tentu saja tidak.. Baik ust. YM maupun Ust. Arifin, tahu bahwa beliau bukan tokoh liberal. Maka beliau berdua simpan ihtiram kepada Prof. Nasar
 
Rekan--rekan  kenal Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin? Prof. Nasaruddin Umar bersahabat dekat dengan ulama Bogor tersebut. Bersama Ketua MUI KH. Ma'ruf Amin, kedua tokoh itu duduk bersama sebagai Dewan Pembina Lembaga Training ESQ 165.

Sedemikian dekatnya, sampai-sampai Ketua Umum Baznas itu jauh-jauh hari meminta Prof. Nasaruddin Umar agar berkenan menyampaikan taushiyah pada pernikahan putri beliau. Mungkinkah seorang Pimpinan Pondok  Pesantren Ulul Albaab Bogor, KH. Didin Hafidhuddin, mantan calon presiden Partai Keadilan, meminta seorang tokoh JIL untuk menyampaikan taushiyah pada pernikahan putri tercintanya?

Mungkinkah Ketua MUI, KH. Ma’ruf Amin yang menfatwakan sesat atas liberalisme Islam duduk satu meja dalam sebuah Dewan Pembina dengan Prof. Nasaruddin Umar seandainya beliau adalah tokoh JIL?

Sahabat, kita boleh berbeda pemikiran dalam berislam, tapi jangan mudah menuding. Ibnu Rusyd dan Imam Ghazali juga berdebat soal agama, tapi sama sekali tak mengurangi nama besar mereka di hadapan ummat.

Imam Bukhari bahkan tak meriwayatkan satu pun hadits dari Imam Syafi'i karena dipandang tak penuhi syarat. Tapi keduanya tetap besar di mata ummat.

Syaikh bin Baz pernah berdebat dengan Syaikh Alwi al-Maliki tapi keduanya tetaplah ulama..

Lalu siapa kita di antara mutiara dan lautan ilmu mereka-mereka?

Kebanyakan kita adalah para Thalib yang dhaif. Selayaknya kita merendah hati, membeningkan jiwa. Bahwa perbedaan pandangan di kalangan para ulama adalah lumrah dari zaman ke zaman. Kita memang tak perlu selalu sependapat dengan seorang ulama, tapi bukan berarti hal tersebut membolehkan kita berlaku lancang kepada mereka.

Mari buka mata, buka hati, hikmah itu tersebar dan terhampar dimana-dimana.. alhikmatu dallatul mukmin.. fa aina wajadaha, fa hua ahaqqu biha..Wallahu a'lam (radarpku)


Sumber : twitter @mistersigit  / muslimedianews
Staf Wakil Menteri Agama RI

Ikuti Terus Riaupower

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER