Kanal

Raffles: Gubernur Lamban, Kebakaran Hutan Meluas

Jakarta, (Radarpekanbaru.com)- Sejak 18 tahun lalu, kebakaran hutan terus terjadi setiap musim kemarau di Kalimantan dan beberapa provinsi di Sumatera. Kali ini, sejumlah kawasan di Sumatera nyaris gelap tertutup kabut asap. Puluhan penerbangan di Medan, Jambi, dan Riau batal karena jarak pandang amat terbatas. Akibat kebakaran di wilayah Sumatera dan Kalimantan, sedikitnya 25,6 juta jiwa terpapar asap. Ancaman serius penyakit gangguan pernapasan dan embusan asap sampai ke negara tetangga Singapura menjadi perhatian.

Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Raffles B. Panjaitan menyebut meluasnya kebakaran hutan di Sumatera akibat sikap lamban para gubernur dalam menetapkan status siaga darurat. Sebab, tanpa status tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tak bisa segera bergerak untuk melakukan operasi pemadaman. Ia merujuk Riau, Jambi, dan Kalimantan Selatan, yang tergolong terlambat dalam menetapkan status tersebut.

"Enggak tahu apa yang ditakutkannya, padahal rakyatnya sudah banyak yang menderita karena asap," kata Raffles saat ditemui majalah detik di ruang kerjanya, Jumat, 4 September, sore. Berikut ini petikan wawancaranya.

Sumatera kembali terselimuti kabut asap, sedangkan pemerintah seperti tak berdaya mengatasinya?

Benar sekali, sudah 18 tahun kebakaran hutan terjadi setiap tahun pada musim kemarau. Kenapa? Karena masih ada yang membakar untuk membuka lahan. Tapi sebetulnya berbagai antisipasi sudah dilakukan, sehingga kondisinya kali ini tak terlalu parah. Sejak Januari lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah berkoordinasi dengan berbagai stakeholder di pusat maupun provinsi, seperti Riau, Jambi, dan Kalimantan Barat, supaya lebih sensitif dan responsif melihat gejala-gejala kebakaran.

Kami sadari, mencegah seharusnya jadi prioritas dan sudah kami lakukan pada Januari-Mei, Juni. Saat itu ada juga hot spot tapi tak berkembang karena ada antisipasi. Cuma, sekarang ini mungkin karena pengaruh El Nino yang panjang, kondisi makin kering, air sulit, sehingga ada pihak-pihak, baik perorangan maupun privat, yang diam-diam melakukan pembakaran.

Tak ada upaya penyadaran ke masyarakat untuk tidak melakukan pembakaran dalam membuka lahan....

Oh, kalau maklumat soal ancaman hukuman bagi para pelaku pembakaran lahan sudah berkali-kali disampaikan. Tapi, entah kenapa, masih saja ada yang melakukan. Dari pelaku tangkap tangan yang pernah kami tindak pada 2013, dia mengaku melakukan pembakaran dengan obat nyamuk yang spiral. Itu butuh waktu 2-3 jam sebelum ujungnya yang terbakar habis dan jatuh ke semak-semak yang sudah disertakan ban dan bensin agar cepat terbakar. Jadi dia masih punya waktu untuk pergi jauh dan bersembunyi, sehingga sulit dilacak. Sekarang pun kami pantau benar, kami selidiki siapa gerangan para pelaku ini. Ada atau enggak kaitannya dengan perusahaan-perusahaan. Kami tentu patut mencurigai perusahaan-perusahaan yang terdekat dengan lokasi kebakaran.

Kalau warga membakar, masak dampak yang terbakar begitu luas. Apa tidak mungkin itu terstruktur?

Nyatanya, di beberapa daerah masih ada bakar-membakar sebagai bagian dari kearifan lokal. Ada yang bakar-bakar untuk ambil madu. Jadi, biar lebahnya pergi, mereka bakar-bakar. Ada juga yang bakar untuk menangkap ikan di rawa-rawa, seperti di Sumatera Selatan. Itu sudah turun-temurun, cuma kemudian tak terkendali eksesnya. Dari pengamatan citra satelit, kebakaran ini ada di daerah gambut karena ada aktivitas pembukaan lahan yang masih mengandalkan cara membakar. Padahal, aturannya, itu dilarang. Cuma, sebagian masyarakat masih sulit diberi pengertian.

Tadi disebut tindakan pencegahan menjadi prioritas. Memang apa saja yang sudah dilakukan?

Melakukan patroli, memberikan penyuluhan soal dampak pembakaran terhadap kesehatan, ekses lingkungan, dan lainnya. Itu kepada masyarakat maupun perusahaan-perusahaan sudah diingatkan agar menjaga hutan dengan sungguh-sungguh. Kepada masyarakat yang tinggal di perbatasan dengan kawasan hutan produksi atau pengelolaan juga ada insentif khusus. Bila dalam setahun tak terjadi kebakaran, misalnya, mereka akan diberi insentif program CSR, yang bentuknya macam-macam, disesuaikan.

Juga dibuat kanal-kanal untuk mengisolasi api. Itu sudah dilakukan, bahkan menjadi syarat untuk perusahaan-perusahaan sawit, misalnya. Selain itu, kanal bisa (dimanfaatkan) untuk stok air dan ketika musim hujan air tidak meluap ke mana-mana. Perusahaan-perusahaan perkebunan yang besar itu sudah dibikin begitu.

Ada perusahaan yang terindikasi masih sengaja melakukan pembakaran?

Wah, kalau itu terbukti, sudah pasti ditindak. Saya sebelumnya Direktur Penindakan, Polisi Hutan saya. Rabu dua hari lalu (2 September) saya dari Riau. Di pinggir jalan raya daerah Bangkinang, Pekanbaru, itu cuma 40 meter dari jalan raya ada terjadi kebakaran di lahan terbuka seluas 100 hektare. Kata kepala desa, itu mungkin mau dikaveling-kaveling, tapi enggak jelas juga siapa yang bakar. Makanya langsung saya perintahkan pasukan Manggala Agni untuk cepat padamkan. Kalau tidak, itu bisa merembet ke permukiman di sekitarnya.

Kadang di Riau masih ada warga atau sekelompok anggota masyarakat yang membakar lahan untuk kebun nanas. Karena lahan bekas bakaran itu konon akan menghasilkan buah nanas yang manisnya sekelas madu. Tapi itu kan tidak bagus, risikonya lebih besar kalau (api) tidak terkendali. Karena itu gambut, dan butuh air banyak untuk memadamkannya. Padahal, dengan kondisi sekarang, pasti petugas Manggala kesulitan karena air sulit. Hambatan lain, lokasi kebakaran biasanya buruk akses jalannya. Perlu beberapa jam untuk bisa sampai. Eh, begitu sampai di lokasi kebakaran, sumber air tidak ada. Kalau pakai tangki air secara estafet, itu kan repot sekali.

Water bombing lewat jalur udara, kami didukung BNPB, yang punya 13 helikopter. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga punya pesawat pengebom yang disiagakan di Riau. Pesawat itu daya angkutnya 3.200 liter sekali terbang dan punya energi kinetik saat menjatuhkan air, ditambah cairan kimia yang bersifat memadamkan. Itu pesawat milik Susi Air yang kami sewa.

Di media sosial beredar pesan seolah pemerintah pusat membiarkan rakyat Riau berjibaku dengan asap setiap tahun....

Itu sama sekali tidak benar. Pada akhir November tahun lalu, Presiden Jokowi sempat ke Sungai Tohor, Meranti, melihat bekas kebakaran kebun sagu masyarakat. Di sana beliau memberikan arahan-arahan guna mengantisipasi. Menko Polhukam serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun sudah berkali-kali mengingatkan para kepala daerah soal pentingnya antisipasi dan pencegahan masalah kebakaran hutan ini. Tentu saja maksudnya agar mereka lebih sensitif dan responsif, tapi para kepala daerah itu masih menunggu-nunggu instruksi dan arahan. Kami dari pusat yang akhirnya datang menggedor-gedor mereka untuk segera bertindak. Akhirnya baru mau membuat keputusan situasi siaga darurat. Tanpa penetapan dari gubernur, BNPB tak bisa bergerak, petugas pemadam kebakaran maupun pesawat-pesawat bom air pun demikian.

Ada kendala apa yang membuat para gubernur seolah takut membuat kebijakan?

Nah, itu saya enggak mengerti ada kekhawatiran apa. Katanya ada beberapa gubernur yang merupakan pelaksana tugas. Di Riau misalnya, sudah kami sarankan agar buat kebijakan siaga darurat langsung saja sampai November, karena BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) kan memperkirakan dampak El Nino akan berlangsung sampai akhir November. Eh, tapi ini enggak. Di Riau tetap dibuat cuma sebulan karena merasa dia punya kewenangan. Akhirnya Agustus kemarin sudah habis, sedangkan kebakaran masih berlangsung. Nah, ini mau dibuat lagi, tapi helikopter BNPB maupun pesawat pengebom air yang disewa dari Australia itu harus urus izin lagi dari Kementerian Perhubungan. Ini butuh waktu lagi.

Di Jambi baru 16 Agustus dinyatakan status siaga darurat. Padahal kami sudah bolak-balik ingatkan. Ibu Menteri sampai telepon gubernur. Enggak tahu apa yang ditakutkannya, padahal rakyatnya sudah banyak yang menderita karena asap. Di Kalimantan Selatan juga baru dibuat status siaga darurat. Yang bagus itu Sumatera Selatan, dia terbitkan status siaga darurat dari April sampai Oktober.

Anehnya, mereka yang telat bikin status siaga itu, begitu menyatakan siaga, langsung minta water bombing. La, memangnya BNPB sewa heli dan pesawat itu kayak sewa taksi atau Go-Jek? Bisa langsung? Ada prosesnya, apalagi kalau sewa dari luar negeri, itu lebih lama lagi. Nah, soal kayak begini mestinya pemerintah daerah sudah paham betul karena sudah berkali-kali dijelaskan.

Benarkah helikopter pengebom air belum bisa beroperasi karena terhambat izin dari Kementerian Perhubungan?

Nah, faktanya seperti itu, kok. Mungkin mereka juga harus hati-hati karena ini juga menyangkut keselamatan para penerbang, jadi clearance-nya harus akurat. Idealnya, sih, semua pihak punya sense of crisis yang sama. Tapi, dalam rapat, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ad interim, Pak Sudirman Said, sudah berkoordinasi dengan Pak Menteri Perhubungan untuk mengatasi masalah ini.

BIODATA

Nama: Raffles Brotestes Panjaitan
Tempat/Tanggal Lahir: Pematangsiantar, 10 Juli 1959

Pendidikan
•    Master Manajemen Kehutanan dari Aberdeen University, Scotland United Kingdom, 1997

Karier
•    Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, 2013 hingga sekarang
•    Direktur Penyidikan dan Pengamanan Hutan, 2010-2013
•    Kepala Subdirektorat Lembaga Konservasi dan Perburuan, 2008-2010
•    Kepala Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan Wilayah II Sumatera Utara, 2002-2008
•    Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Kantor Wilayah Sumatera Utara, 2000-2002

Penghargaan
    •    •    Wira Trengginas dari BNPB atas dedikasi dan pengabdian dalam penanggulangan bencana di Riau, 2014
    •    •    Penghargaan dari Menteri Kehutanan atas partisipasi dalam penanganan pascatsunami di Aceh, 2004


(dtk)

Ikuti Terus Riaupower

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER