Nasihat Berharga

Jumat, 31 Agustus 2018

RADARPEKANBARU.COM.Abdurrahman an-Nashir merupakan khalifah Cordova yang mencintai buku. Pada masa kekhilafahannya, berdiri sebuah perpustakaan terbesar di dunia yang diisi koleksi buku sang khalifah dan dua anaknya. Tersebutlah khalifah sudah tiga kali tidak tampak shalat Jumat.

 

Dia dikabarkan tengah sibuk menyelesaikan proyek pembangunan Kota az-Zahrah di Cordova. Sebuah proyek megah yang bisa menjadi simbol kekuasaan kekhilafahan. Istana kerajaan ini memiliki 400 kamar yang konon dapat menampung ribuan budak dan pegawai. Istana az-Zahrah terbuat dari pualam putih yang didatangkan dari Nurmidia dan Carthago. Az-Zahrah pun diharapkan bisa mencerminkan kemajuan ilmu serta budaya di Cordova.

 

Pada Jumat keempat, sang kha lifah ternyata hadir di tengah jamaah shalat Jumat. Ketika itu, Mundzir Sa'id menjadi khatib. Ketika berkhutbah, dia mengutip QS asy-Syuara ayat 128-131. Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah bangunan untuk bermain-main (bermewah-mewah dan memperlihatkan kekayaan). Dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu ke kal (di dunia)? Dan apabila kamu menyisa, maka kamu menyiksa sebagai orang-orang yang kejam dan bengis.

 

Maka, bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepada-Ku. Tidak hanya sampai disitu, khatib pun meletakkan ayat tersebut dalam konteks kebijakan kekhalifahan yang tengah membangun proyek megah itu. Sungguh tak bermanfaat semua proyek pembangunan itu jika dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatannya; kita melupakan Allah, melanggar syariat Nya dan melampaui batas.

 

Sungguh, kita telah berbuat zalim jika dalam proyek pembangunan itu kita menghambur-hamburkan uang negara. Kita zalim, jika atas nama pembangunan, lalu mengabaikan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan dasar rakyat dan malah hanya mengerjakan sesuatu sekadar menyenangkan segelintir penguasa saja. Ketahuilah, itu pengkhianatan.

 

Apakah benar semua pembangunan itu seperti yang sering diklaim oleh para pejabat bahwa itu untuk kepentingan rakyat? Jika ternyata menghasilkan dampak sosial yang negatif? Bukankah sangat sering terjadi orang kehilangan rumah karena tergusur, dengan ganti rugi yang tak memadai? Atau lahan bermain anak menjadi jauh berkurang? Pedasnya isi khutbah Jumat ternyata di tanggapi oleh sang khalifah. Dia pun mencoba memancing anaknya seusai shalat Jumat. Aku tersinggung dengan isi khutbah tadi. Anaknya menjawab: Jika ayah tersinggung maka saya marah besar. Saya minta agar khatib tadi tak boleh lagi tampil berkhutbah.

 

Ternyata, khalifah menutup dialog ter sebut dengan kalimat yang bijak. Tidak anakku. Tak sepatutnya khatib tadi menerima sanksi. Bahkan sebaliknya, kita harus berterima kasih atas semua yang telah disampaikannya. Nasihat atau kritik ini merupakan tanda cintanya yang tulus kepada kita.

 

Ajaran dan tradisi dalam Islam menyuruh kita untuk memperhatikan nasihat, meski pahit. Tidakkah Allah SWT sudah meminta kita dalam Alquran untuk menasihati dalam kebenaran dan kesabaran? Nabi SAW pun mau mendengar nasihat dari istrinya, Ummu Salamah saat merasa diabaikan kaum Muslimin usai perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu, Nabi SAW memerintah mereka untuk menyembelih hewan kurban dan memotong rambut dan kuku, meski batal mengunjungi Tanah Suci.

 

Mereka tak menuruti nasihat Nabi. Rasulullah SAW pun mengeluhkan sikap kaumnya kepada Ummu Salamah karena sudah menyuruh mereka hingga tiga kali. Ummu Salamah menasihati Nabi SAW. Dia mengungkapkan, Rasulullah SAW tak bisa membuat 1. 500 orang untuk me lakukan apa yang dia inginkan. Ummu Salamah lantas meminta Nabi SAW untuk melakukan ibadahnya sendiri di tanah lapang dan bisa dilihat semua orang. Nabi SAW lantas mendengar nasihat itu.

 

Rasulullah mengambil ternak dan mem bawanya ke tempat terbuka. Rasulullah menyembelih hewan tersebut. Setelah itu, dia bercukur dan memotong kuku. Kaum Muslimin yang menyaksikannya kemudian mengikuti apa yang dilakukan Nabi. Kita juga harus belajar dari Imam al-Ghazali yang dirampok sekawanan penyamun saat bergabung dalam sebuah kafilah dagang.

 

Dalam perjalanan pulang, kafilah dagang, termasuk imam yang melahirkan kitab Ihya Ulumuddinitu diadang seka wan an perampok. Mereka menggeledah satu per satu anggota kafilah. Termasuk sang imam. Ketika tiba gilirannya, al-Ghazali ber kata, apa yang dibawanya adalah buku dan naskah tulisan. Semua itu tak berguna bagi mereka, tapi sangat besar artinya bagi sang imam. Namun, simak apa yang disampaikan si perampok. Ilmu itu di dada, bukan di tulisan.

 

Al-Ghazali terkesiap mendengar jawaban tak terduga itu. Sampai-sampai, dia merasa jawaban perampok itu merupakan yang paling berharga dalam perjalanan intelektualnya. Konon, spirit dari jawaban tersebut membuat al-Ghazali tak lagi disibukkan dengan urusan mencatat ketika berguru. Ketika belajar, dia berusaha me mahami dengan kritis dan menghafal jika perlu. Dia pun tercatat menjadi imam dengan karya-karya monumental dan diakui hingga belahan bumi barat.(rep)