LGBT dari Perspektif Psikologis

Sabtu, 06 Januari 2018

Anggia Kargenti Eva Nurul Marettih, S.Psi., M.Si ahli Psikologi Klinis

Keberadaan kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender atau yang popular dengan istilah LGBT ini masih mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak di kalangan masyarakat Indonesia. Istilah tersebut digunakan pada tahun 1990 silam untuk menggantikan frasa komunitas gay atau komunitas yang memiliki orientasi seks terhadap sesama jenis khususnya laki-laki. Perlu diketahui kaum LGBT memiliki sebuah lambang berupa bendera pelangi yang menjadi cikal bakal mereka untuk bergerak, atau yang dikenal dengan sebutan Gerakan Pelangi. 

Jika Gay adalah sebutan khusus untuk laki-laki yang memiliki orientasi seks terhadap sesama jenis, Lesbian adalah sebutan untuk perempuan yang menyukai sesama jenis. Sedangkan Biseksual adalah sebutan untuk orang yang bisa tertarik kepada laki-laki atau perempuan. Transgender sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk orang yang cara berperilaku dan berpenampilan berbeda atau tidak sesuai dengan jenis kelaminnya. Bisa menyerupai laki-laki ataupun perempuan. 

Lalu seperti apa pandangan dari segi psikologi terkait keberadaan kaum LGBT? Dosen Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Anggia Kargenti Eva Nurul Marettih, S.Psi., M.Si ahli Psikologi Klinis yang ditemui oleh BEM UR di Kampus UIN SUSKA Riau pada Jumat (05/01/2018) kemarin menerangkan, bahwa pada tahun 2015 pengidap LGBT di wilayah Pekanbaru, Riau sudah mencapai 1500 orang. 

Angka ini termasuk ke dalam angka yang tinggi pada saat itu. Pada masa sekarang ini dikhawatirkan angka tersebut akan terus meningkat dan pengidap LGBT semakin meluas, namun Bu Anggia menjelaskan, memang belum adanya suatu data untuk saat ini, tetapi fenomena sosial tersebut dapat dilihat berdasarkan fakta dilapangan, dan meningkatnya klien dari Bu Anggia yang semakin bertambah untuk berkonsultasi.

Berdasarkan tinjauan psikologis, manusia di dunia ini diciptakan oleh Sang Maha Cipta hanya ada dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan, pria dan wanita. Maka keduanya akan menjadi suatu pasangan yang saling melengkapi dalam menjalin hubungan. 

Jika ada seorang manusia yang lebih tertarik dan menyukai juga memilih pasangan hidup yang sama dengan jenis kelaminnya, maka seseorang tersebut dapat dikatakan tidak normal terhadap kejiwaannya dan dianggap sebagai perilaku seks yang menyimpang. Umumnya LGBT paling banyak dialami oleh usia remaja yang memiliki keterpurukan latar belakang. Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi LGBT. 

Berikut penjelasan Bu Anggia terkait beberapa faktor yang menjadi penyebab LGBT, yaitu :

1. Keluarga/Pola Asuh

Peran kedua orang tua sangat penting dalam mengasuh dan mendidik anak dari kecil, remaja hingga beranjak dewasa, salah satunya dari pendidikan yang diberikan di rumah. Keluarga yang sehat adalah keluarga yang bisa menciptakan kedamaian dan ketentraman melalui kasih sayang yang diberikan kedua orang tua kepada sang anak. Ketika seorang anak mendapatkan perlakuan kasar atau perlakuan yang tidak baik lainnya, maka akan bisa menyebabkan setres pada anak, sehingga dengan banyaknya beban pikiran, sang anak akan menjadi cenderung memilih LGBT sebagai pilihan hidupnya. Pada dasarnya pendidikan secara seksual dan ketertarikan lawan jenis telah dipelajari secara tidak langsung di dalam sebuah keluarga, contohnya saja anak perempuan yang lebih cenderung dekat dan sayang kepada ayahnya atau sebaliknya anak laki-laki yang lebih cenderung dekat dan sayang kepada ibunya. Hal ini merupakan suatu pembelajaran bagi anak. Tetapi ketika perilaku kekerasan yang diberikan oleh seorang ayah kepada anak perempuannya atau sebaliknya dengan berbagai konflik yang berbeda dapat menciptakan perasaan trauma bagi anak tersebut. Akibatnya timbullah perasaan benci kepada sosok ayahnya dan nantinya anak perempuan tersebut bisa membenci semua laki-laki, dan ia lebih memilih untuk menyukai sesama jenisnya.

2. Lingkungan dan Pergaulan 

Faktor lingkungan dan dengan siapa seseorang tersebut bergaul serta gaya hidup yang dipakai menjadi salah satu faktor penyebab yang paling dominan terhadap keputusan seseorang untuk menjadi bagian dari komunitas LGBT. Dalam hal ini LGBT dapat dianalogikan sebagai sebuah virus yang dapat menyerang siapa saja. Kembali lagi kepada sistem kekebalan tubuh seseorang tersebut untuk dapat menerima virus LGBT ini atau tidak, sebab sistem imun seseorang itu berbeda-beda. Apabila tidak dilandasi dengan keimanan yang kuat, maka lingkungan tersebut akan bisa mempengaruhi, ditambah lagi hubungan pergaulan yang terkesan bebas dan tidak dengan aturan akan semakin memperkuat virus LGBT masuk ke dalam tubuh seseorang. 

3. Genetik 

Berdasarkan hasil penelitian, dikatakan LGBT memiliki sifat yang bisa menurun dari anggota keluarga sebelumnya. Dalam dunia kesehatan, pada umumnya seorang laki-laki normal memiliki kromosom XY, sedangkan perempuan normal memiliki kromosom XX. Akan tetapi dalam berbagai kasus ditemukan bahwa seseorang pria bisa saja memiliki kromosom XXY, yang artinya kelebihan satu kromosom. Akibatnya lelaki tersebut memiliki perilaku yang mirip dengan perempuan. Kasus ini sering diyakini oleh si pengidap LGBT sebagai ada sesuatu yang salah dalam dirinya, yakni ia telah terjebak dan terperangkap dalam tubuh yang salah. Tak jarang hal tersebut membuat si pengidap LGBT akan melakukan operasi kelamin dan merubah total hidupnya. Jika diteliti lebih lanjut, untuk faktor genetik ini hanya berlaku pada transgender, sebab untuk Gay dan Lesbian secara kesehatan dan fisik mereka adalah normal, namun  yang bermasalah adalah pada kejiwaan mereka.

Menurut Anggia, kini kaum LGBT telah berhasil dengan perlahan mulai menampakkan diri mereka, istilah ini biasa disebut dengan “Coming Out”. Mereka sudah berani keluar dari zona aman, walaupun masih terkesan takut-takut, karena mereka sebenarnya tahu, bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah, menyimpang dan tidak dibenarkan dari segi agama. 

Sebagai kaum minoritas, mereka ingin dilindungi dan mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM). Banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kini tengah sibuk untuk membela kaum LGBT, salah satunya ialah LSM Arus Pelangi yang menyatakan kaum LGBT di Indonesia telah mengalami diskriminasi. Alasan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tersebut mendukung kaum LGBT ialah mereka menganggap, bahwa Indonesia merupakan negara yang demokratis dan LGBT bukanlah suatu penyakit, mereka menganggap itulah suatu keberagaman. LSM tersebutlah yang menjadi poros terhadap LSM lainnya untuk mendukung gerakan LGBT.

“Baik pemerintah, masyarakat, tenaga pendidik, maupun peran keluarga seluruhnya harus turut andil dalam hal ini dan dituntut sebagai pengontrol lingkungan. Apabila LGBT disahkan di negara ini, mau jadi apa generasi penerus bangsa?, yang ada hanyalah kehancuran yang perlahan menghantui. Kita semua punya potensi untuk bisa terjangkit virus LGBT ini, secara psikologis ini hal yang wajar. Contohnya saja ketika saya melihat perempuan yang lebih cantik, saya akan mengungkapkannya dan merasa suka. Tetapi tidak dalam hal nafsu seksual dan ingin menikahinya. Potensi yang ada pada diri kita tersebut bisa dikembangkan jika kita mau, itulah yang bisa membawa kita kepada sifat LGBT”, ungkap Anggia.

Diakhir sesi tanya jawab tersebut, Ibu Anggia menghimbau kepada masyarakat, khususnya masyarakat Pekanbaru untuk sama-sama merangkul kaum LGBT ke jalan yang benar. Karena sesungguhnya LGBT itu bisa untuk disembuhkan. Kita harus memastikan bahwa generasi penerus bangsa adalah generasi yang sehat secara lahir dan batin. 

Penulis : Retno Ningrum (Sekretaris Kementerian Komunikasi dan Informasi BEM UR)