KPK pernah menyita perusahaan tambang milik mantan Bendum Partai Demokrat, M Nazaruddin di Riau

Senin, 16 Oktober 2017

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan untuk menyita aset-aset dari tersangka korupsi yang diduga berasal dari tindak pidana, termasuk menyita aset korporasi yang berstatus tersangka.

RADARPEKANBARU.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan untuk menyita aset-aset dari tersangka korupsi yang diduga berasal dari tindak pidana, termasuk menyita aset korporasi yang berstatus tersangka.

Saat ini, KPK telah menetapkan PT Duta Graha Indonesia (DGI) yang kini berganti nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniiring atau PT DGIK sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan Rumah Sakit Khusus Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana tahun anggaran 2009-2011.

Pelaksana Tugas Koordinator Unit Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi) KPK, Irene Putri menyatakan, penyitaan aset perusahaan yang telah berstatus tersangka seperti PT DGI dilakukan KPK untuk pembuktian dalam proses penyidikan kasus dugaan korupsi yang menjerat perusahaan itu. Setelah berkekuatan hukum tetap, aset tersebut nantinya dirampas untuk pembayaran uang pengganti.

“Terhadap perusahaan-perusahaan, apalagi tersangkanya kan korporasi, aset-aset korporasi bisa kami sita untuk pembayaran uang pengganti yang diduga diterima korporasi,” kata Irene dalam diskusi 'Barang Sitaan dan Barang Rampasan' di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (11/10).

Tak hanya aset perusahaan saja yang bisa disita, Irene menyatakan, Jaksa Penuntut Umum juga bisa meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Tipikor dalam proses persidangan untuk mencabut izin usaha perusahaan yang terlibat korupsi. Bahkan, KPK bisa menyita perusahaan tersebut.

Irene menuturkan, KPK pernah menyita perusahaan tambang milik mantan Bendum Parta Demokrat, M Nazaruddin di Riau. Perusahaan tambang tersebut kemudian dilelang dan terjual Rp 46 miliar untuk dikembalikan kepada negara. “KPK bisa sita perusahaan. Kita sita pabriknya. Sudah dilelang dan laku Rp 46 miliar di daerah Riau. Izin usahanya juga bisa dicabut,” katanya.

Dikatakan Irene, penyitaan aset korporasi ini telah diatur dalam Peraturan Mahkmah Agung (Perma) nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Saat ini, MA sedang menyusun Perma mengenai barang sitaan dan barang rampasan atas korporasi yang dinilai bakal lebih efektif memulihkan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari tindak pidana yang dilakukan korporasi.

"Bisa Perma nomor 13 tahun 2016 tentang korporasi tapi agar praktek hal-hal asset recovery terkait korporasi itu sama dengan UU jadi tidak efektif, maka MA sedang menyusun Perma tindak lanjut atas barang sitaan dan barang rampasan atas koporasi. Mudah-mudahan Perma ini ada hasilnya," katanya.

Diketahui, PT DGI ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus proyek pembangunan Rumah Sakit Khusus Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana pada 5 Juli 2017 llu. Dalam proyek itu, diduga negara dirugikan sampai Rp 25 miliar dari total proyek Rp 138 miliar.

Tak hanya rumah sakit ini, PT DGI diketahui pernah bermitra dengan Permai Group milik Nazaruddin untuk menggarap sejumlah proyek pemerintah.

Beberapa proyek itu diantaranya proyek pembangunan Gedung di Universitas Mataram dan Universitas Jambi, pembangunan Badan Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Surabaya tahap III, RSUD Sungai Dareh Kabupaten Darmasraya, Gedung Cardiac RS Adam Malik Medan, Paviliun RS Adam Malik Medan, RS Inspeksi Tropis Surabaya, dan RSUD Ponorogo. Tak hanya itu, PT DGI juga pernah mengerjakan proyek Wisma Atlet dan pembangunan Gedung Serba Guna Palembang, Pemprov Sumatera Selatan tahun 2011. Dari proyek tersebut PT DGI mendapat fee sampai Rp 49 miliar,

Sementara Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor yang menjerat PT DGI memungkinkan KPK untuk menelusuri proyek-proyek lain yang dilakukan perusahaan tersebut dan terindikasi korupsi. Meski demikian, Febri menyatakan, KPK tak gegabah dalam mengusut proyek-proyek tersebut.

"Intinya pasal yang disangkakan KPK, memungkinkan untuk menelusuri proyek yang lainnya. Kan penerapan pidana korporasi ini bertujuan memaksimalkan asset recovery dari sebuah tindak pidana korupsi," kata Febri.


Sumber: Suara Pembaruan