Pukat Korupsi UGM: Hak Angket DPR Langgar UU

Sabtu, 29 April 2017

Ketua Fraksi Partai Gerindra Ahmad Muzani melakukan interupsi kepada pimpinan DPR untuk menolak hak angket KPK saat rapat paripurna di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat 28 April 2017. (Antara)

RADARPEKANBARU.COM - Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat Korupsi) UGM menegaskan disetujuinya hak angket DPR untuk membuka berkas pemeriksaan politisi Hanura Miryam S Haryani sebagai tindakan melawan hukum.

Peneliti Pukat Korupsi, Hifdzil Alim mengatakan membuka rekaman pemeriksaan kasus di KPK bertentangan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi yang antara lain menyebutkan hasil pemeriksaan merupakan dokumen dikecualikan.

Tak hanya itu, penggunaan hak angket oleh DPR terhadap KPK juga dinilai melanggar UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, lantaran ditujukan kepada lembaga independen di luar pemerintahan.

"Dokumen pemeriksaan dan penyidikan adalah salah satu dokumen yang dikecualikan, termasuk dokumen yang berkaitan dengan pertahanan,” katanya di kantor Pukat Korupsi UGM, Jumat (28/4).

Lebih jauh dikatakan, hak angket tersebut juga akan menghambat penyelesaian kasus dugaan korupsi KTP elektronik yang sedang bergulir di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Para politisi di DPR merasa terancam oleh kasus korupsi megaproyek pengadaan KTP elektronik, setelah sejumlah nama disebut menerima uang dari proyek tersebut. Penggunaan hak angket merupakan akal-akalan untuk mengetahui posisi politisi di DPR pada perkara KTP elektronik.

"Ini ibarat nabok nyilih tangan, pinjam tangan KPK untuk membuka berkas penyidikan itu. Kalau sudah terjadi begitu, maka yang akan disalahkan karena membuka BAP adalah KPK. Risiko dialihkan ke KPK, bukan anggota Dewan. Ini akal-akalan," tegas Hifdzil.

Menurutnya, penggunaan hak angket oleh politisi di DPR terhadap KPK salah alamat dan KPK bisa mengajukan sengketa kewenangan ke Mahkamah Konstitusi.

"Ini adalah serangan balik dari DPR karena diduga ada yang tersangkut korupsi kasus KTP elektronik. Kerja KPK direcoki terus,” ujarnya.

Lebih lanjut Hifdzil mengungkapkan jika rekaman penyidikan Miryam S Haryani dibuka di hadapan DPR akan ada beberapa implikasi yang dapat merugikan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pertama, dikhawatirkan akan ada tindakan-tindakan yang termasuk dalam obstruction of justice (tindakan menghalangi proses hukum).

Kedua, nama-nama yang disebut dalam rekaman Miryam dapat melarikan diri ke luar negeri.

“Kalau ini terjadi, maka akan mengancam keselamatan para penyidik dan jaksa yang menangani kasus KTP elektronik dan sangat mungkin, sebelum diproses, pelaku melarikan diri ke negara-negara yang tidak memiliki kerja sama bidang hukum (mutual legal asistence) dengan Indonesia," katanya.

Menurutnya, KPK tidak perlu menaati perintah DPR, karena tidak ada dasar hukum yang menyatakan KPK harus tunduk pada DPR.

Peneliti lain dari Pukat Korupsi UGM, Zaenur Rohman menyatakan penggunaan hak angket oleh DPR memperlihatkan tekanan politik pengusutan megakorupsi kasus KTP elektronik yang diduga melibatkan anggota dan pimpinan DPR. Oleh karena itu, KPK sebaiknya tidak tunduk kepada DPR dengan membuka berkas pemeriksaan tersangka kasus KTP elektronik.

“Hentikan intervensi politik yang menghambat kinerja KPK dalam mengungkap kasus KTP elektronik dan kasus lainnya,” ucapnya.


Fuska Sani Evani/AB

Suara Pembaruan