Ini Poin Kontroversial Pedoman Penanganan Tipikor Polri, KPK, dan Kejaksaan Agung

Rabu, 29 Maret 2017

Irjen Boy Rafli Amar. (Antara)

RADARPEKANBARU.COM- Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kejaksaan Agung sepakat memperbaruhi nota kesepahaman pedoman bersama penanganan tindak pidana korupsi.

Ada beberapa poin kontroversial dalam MoU yang disebut hanya pembaruan dari yang lama itu. Utamanya poin terkait soal pemberitahuan apabila ada oknum nakal satu institusi yang akan ditindak institusi lain.

Ayat 5 misalnya yaitu berbunyi, "dalam hal salah satu pihak melakukan pemanggilan terhadap personel pihak lainnya maka pihak yang melakukan pemangggilan tersebut memberitahukan kepada pimpinan personel pihak yang dipanggil."

Ayat 6, "dalam hal salah satu pihak melakukan pemeriksaan terhadap personel pihak lainnya maka personel tersebut didampingi oleh fungsi hukum atau bantuan advokat para pihak dan pemeriksaan dapat dilakukan di kantor para pihak."

Ayat 7, "dalam hal salah satu pihak melakukan penggeledahan, penyitaan, dan memasuki kantor pihak lainnya, maka pihak yang melakukannya memberitahukan kepada pimpinan pihak yang menjadi obyek yang dilakukannya tindakan tersebut, kecuali tertangkap tangan."

Saat ditanya, bukankah penindakan itu butuh unsur kerahasiaan dan kesenyapan supaya yang digeledah tidak menghilangkan barang bukti?

Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar menjawab,"Oh tidak (masalah) kan tekadnya sudah sama memberantas korupsi. Kalau kita berpikir seperti itu kita negative thinking. Ini lebih ke masalah komunikasi agar lancar dan tidak terjadi salah pengertian."

Boy juga menjelaskan soal pendampingan advokat itu warga biasa juga harus didampingi oleh advokat. Tapi kalau saksi tidak perlu didampingi sebagaimana hukum acaranya yang mengatur seperti itu.

"Tapi kalau tersangka ya iya dong harus didampingi penasihat hukum. Demikian juga koordinasi ini lebih kepada upaya mempercepat proses pelaksanaannya, karena di sana sedang bertugas, di sini bertugas," lanjutnya.

Jadi seluruh pihak sama-sama dalam konteks penanganan Tipikor dan ini jadi sesuatu yang wajar serta sudah dipraktikkan dan ini melanjutkan kerja sama yang sudah dilaksanakan sambung Boy.

"Ini bukan barang baru, kecuali e-SPDP. e-SPDP ini merupakan barang baru dengan penerapan sistem online. Selama ini dilaporkan secara manual, dikirimkan copy (salinan) SPDP kepada pihak KPK dalam pelaksanaan koordinasi supervisi," urainya.

Saat disinggung lebih jauh soal pendampingan oleh institusi itu, menurut Boy, karena ini masalah hukum sedangkan di internal Polri kemungkinan juga ada pihak-tertentu yang dimintai keterangan tidak begitu paham dengan hukum yang dihadapi maka pendampingan menjadi perlu.

"Karena di internal kita ini kan ada advokat internal (Div Binkum) dalam menghadapi gugatan praperadilan, gugatan hukum, ataupun pendampingan anggota-anggota kita yang menghadapi masalah hukum. Itu mekanisme normal, wajar. Sementara masyarakat juga dibenarkan untuk ada pendampingan, tidak masalah," lanjutnya.

Beberapa saat lalu memang sempat muncul masalah antara KPK dengan Polri yang dikenal dengan istilah Cicak vs Buaya. Ini terjadi saat KPK memroses beberapa orang pejabat Polri yang tersandung kasus korupsi.


Farouk Arnaz/JAS

BeritaSatu.com