Perihnya Jepitan Kepiting ,Anggota Kahmi Riau Kritik Radar Terkait Pemberitaan Konfercab HMI

Rabu, 08 Maret 2017

Anggota Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Riau yang juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru 2010 – 2013,Ilham Muhmmad Yasir

RADARPEKANBARU.COM- Anggota Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Riau yang juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru 2010 – 2013,Ilham Muhmmad Yasir mengkritik berita yang di posting portal berita radarpekanbaru.com senin,06 maret 2017 | 21:08:25 WIB, dengan judul Konfercab Tak Jelas Ujung Pangkal, HMI Pekanbaru Dalam Fase Mati Suri.

Karya jurnalistik yang di publish radar dalam pemberitaan terkait Konfercab HMI Tak Jelas Ujung Pangkal dianggap bermasalah.

"Setelah dibolak-balik dibaca, berta ini ternyata bermasalah. tak hanya soal kode etik, malah bisa berujung ke delik pidana transaksi elektronik (ITe)," kata Ilham yang juga mengaku sebagai Pemegang Sertifikat Saksi Ahli Pers Dewan Pers Republik Indonesia 2010 – 2014 ini.

Inilah buah pemikiran wartawan senior Riau Pos, Ilham Muhmmad Yasir yang ia sampaikan pada Grup WAG 05-KFJS Pekanbaru.

'Malapraktik’ Jurnalistik*

"POSTINGAN" itu awalnya biasa-biasa saja. Sebuah link berita dari media online masuk ke grup ini, Senin (6/3/2017) sekitar pukul 21.16 Wib. Satu menit berselang, postingan itu langsung menuai tanggapan. Saling tuding tak terelakkan. Sedikitnya ada 10 tanggapan. Tercatat postingan terakhir, Selasa (7/3) pukul 03.30 Wib dini hari.

Saya tak tertarik mengikuti. Apalagi membuka link-nya. Jelang Subuh sekitar pukul 04.30 Wib, sambil menunggu _adzan_ Subuh rasa penasaran mendorong ingin mengikuti. Klik!_ Langsung muncul judul: _*“Pemilihan Ketum Selalu Dibayangi Kepentingan Senior: Konfercab Tak Jelas Ujungpangkal, HMI Pekanbaru dalam Fase Mati Suri”.*_

Di alinea ke-13, bacaan saya terhenti. Kaget bukan main. Sambil sesekali menarik nafas. _Astaghfirullah._ Berpikir sejenak, sambil bergumam. _“Kok! ada berita seperti ini bisa naik ya?”_

*Berita bukan opini*
Sebuah berita adalah produk jurnalistik. Punya teknik dan tata cara penulisan yang baku. Berita berasal dari fakta dan peristiwa di lapangan. Bukan karangan, atau imajinasi si jurnalis/wartawan. Intinya, berita bukan opini. Karena isi berita harus bisa dipertanggungjawabkan. Makanya, dikenal rumus 5W+1H. Sehingga isi sebuah berita bisa diverifikasi kebenarannya.

Membaca link di atas, judulnya dapat dipastikan opini si jurnalis. Dari aline 1 – 3, juga masih rangkaian kalimat opini si jurnalis. Di aline ke-4, baru ada sumber beritanya. Lagi-lagi kaget, sumbernya ‘anonim’. Nama sumbernya tak lazim. Kepiting. Bukan nama sebenarnya. Nama anonim ini digunakan sejak aline ke-4 – 13. Yang krusial di alinea ke-13. Ketika nama si anonim _men-judge_4 (empat) nama. Ditambah lagi satu nama di aline ke-4 sebelumnya. Anehnya, nama-nama yang dituduh tak satu kalimatpun diberi ruang hak jawab. Atau memberi ruang tanggapan yang berimbang _(cover both side)._ Istilah persnya, _trial by press_ ----tindakan yang mengarah seperti peradilan dengan menggunakan opini di media melalui publikasi massa.

*Pelanggaran kode etik*
Mencermati berita tersebut, setidaknya ada sejumlah poin dugaan pelanggaran kode etik. Meski yang berhak menilai dan menyatakan pelanggaran kode etik itu adalah Dewan Pers. Tapi setidaknya, mengkaitkan dengan pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ), terasa sekali berita itu memiliki persoalan. Pasal 1, 2, 3, 10 dan 11 KEJ dalam berita itu diabaikan.
(1) _Wartawan Indonesia bersikap independen,menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk;_
(2) _Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik;_
(3) _Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah;_
(10) _Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa;_
(11) _Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional._

*Malapraktik*
Istilah malapraktik memang tak dikenal dalam profesi jurnalistik. Baik KEJ, maupun UU No. 40/1999 tentang Pers tak mengatur tentang tanggungjawab akibat kelalaian saat melaksanakan tugas jurnalistik. Istilah itu dikenal dalam praktek kedokteran. Yaitu dokter praktik saat menjalankan profesi karena kelalaiannya dalam menerapkan standar profesi mengakibatkan seseorang menderita kerugian. Namun Alwi Dahlan sangat menekankan betapa pentingnya KEJ bagi jurnalis. Menurutnya, KEJ memiliki 5 (lima) fungsi, salah satunya adalah untuk melindungi masyarakat dari malapraktik oleh praktisi yang tidak profesional.

Apabila pendapat Alwi Dahlan ini kita ambil, makna praktisi itu sesungguhnya adalah jurnalis yang tidak taat terhadap prosedur kode etik. Sehingga pelanggaran kode etik itu sama seperti malapraktik kedokteran. Jika kerugian akibat kelalaian jurnalis dalam menjalankan tugas, maka di sana telah terjadi malapraktik. Sama seperti pejabat administrasi negara yang melanggar peraturan saat memberikan pelayanan. Akibat kerugian yang ditimbulkan disebut sebagai maladministrasi.

*Delik pidana*
UU No.40/1999 tidak mengenal pelanggaran atau kejahatan (delik) yang dilakukan oleh jurnalis. Yang dikenal adalah delik pidana untuk orang yang menghalang-halangi jurnalis dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dan delik pidana juga ditujukan untuk perusahaan pers yang tak berbadan hukum serta tak mau memberikan hak jawab dan hak koreksi. UU Pers ini justru mengenal istilah imunitas atau kekebalan jurnalis dalam menjalankan tugas. Dalam Pasal 8 menegaskan: _“Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum”._

Kerugian akibat pemberitaan yang dilakukan oleh jurnalis menurut UU ini diselesaikan dengan hak jawab dan hak koreksi (Pasal 1 ayat 11 dan 12).

Pertanyaannya, apakah jurnalis tak bisa dipidana? Sebagian pakar hukum mengatakan, imunitas terhadap jurnalis itu berlaku saat menjalankan tugasnya. Sehingga mereka berpandangan UU Pers itu adalah UU khusus _(lex specialis derogat legi generali)._Yaitu asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Meski demikian sejumlah pakar hukum, terutama hukum pidana tetap berpandangan UU Pers itu bukan UU khusus. Karenanya, pasal-pasal terkait delik pers di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih tetap berlaku.

Memang selama ini dalam praktiknya, Dewan Pers dalam kasus-kasus pers selalu memperjuangkan dan menempuh upaya-upaya mediasi. Sehingga terkait kasus-kasus ‘malapraktik’ jurnalistik diselesaikan melalui proses hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur dalam UU Pers itu. Kesepahaman itu dalam praktiknya juga selalu ditempuh oleh kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Ketiga lembaga ini selalu memintai pendapat Dewan Pers terlebih dahulu terhadap kasus-kasus pers. Jika Dewan Pers dalam penilaiannya menegaskan, berita yang dihasilan bukan produk jurnalistik karena tak memenuhi unsur-unsur standar kode etik, barulah ketiga lembaga tersebut langsung memprosesnya dengan ketentuan delik pidana sebagaimana diatur dalam KUHP.

_*Defamation*_/Penghinaan
Sudah tentu produk berita yang dihasilkan tanpa memperhatikan kode etik, tidak masuk kategori produk jurnalistik yang dilindungan oleh UU Pers ini. Melainkan produk berita yang dengan sengaja menyerang seseorang, masuk dalam kategori penghinaan _(defamation)._ Di mana penghinaan diatur dalam Bab XVI pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHP.

_Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;_

_Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah._

Bahkan ancamannya tak cukup di KUHP. Terkait penghinaan apabila prosesnya menggunakan media elektronik, seperti perangkat komputer, _internet, android, smarthphone_ dan lain-lainnya masuk dalam kategori transaksi elektronik. Sehingga apabila perbuatan hukum itu dilakukan menggunakan media elektronik, maka dapat diterapkan pasal-pasal dalam UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 28 ayat 1 menegaskan: _Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan ancaman pidana penjara enam tahun dan denda maksimal Rp1 milyar._

*Penutup*
Sesungguhnya di era keterbukaan dan kebebasan informasi, setiap informasi yang disampaikan harus benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Pilihan yang bijak adalah menjaga kehati-hatian. Informasi yang disampaikan harus benar-benar bermanfaat. Proses cek-ricek harus diterapkan dengan ketat. Tak hanya sebatas melampiaskan ketidakpuasan atau ketidaksukaan. Tapi, bagaimana berpikir publik memperoleh informasi yang benar, akurat dan sehat.

Andaikan kita berhitung plus minusnya, informasi yang disebarkan itu menggunakan media cetak, dampaknya masih sebatas hasil cetakan itu bertahan seiring waktu. Tapi tidak demikian halnya jika menggunakan jaringan transaksi elektronik/internet. Informasi itu tak serta merta bisa dihapus. Informasi itu akan menyebar dan berpindah begitu cepat dari satu tangan ke tangan yang lain melalui ruang dunia maya. Ibaratnya seperti menebar virus di udara. Selama itu pula, orang yang diserang kehormatannya akan terus-menerus labelnya lengket di dunia maya. Mungkin bisa 10 tahun atau bahkan 100 –an tahun sepanjang proses transaksi elektronik itu masih ada.

Pilihannya, jika masih menilai informasi yang disampaikan itu merupakan produk jurnalistik, sebaiknya cepat melakukan koreksi. Karena prinsip dalam KEJ dan UU Pers, koreksi bukanlah hal yang memalukan. Tapi merupakan bagian dari proses _check and balance_ masyarakat dalam mengawasi peran dan fungsi pers. Bagaimanapun kedewasaan pers itu ikut ditentukan oleh kedewasaan masyarakatnya.

Semoga breidel dan sensor terhadap pers tak ada lagi. Oleh karena itu mari rawat dan jaga kebebasan dan keterbukaan pers itu dengan baik dan bijak.***