Tangkapan Besar dan Mantap, Inilah Tradisi Mancokau Ikan Lubuk Larangan Di Tanjung Belit Kampar Riau

Senin, 29 Agustus 2016

Tradisi Tahunan, Mancokau (Tangkap) Ikan di Desa Tanjung Belit, Kampar Riau

RADARPEKANBARU.COM- Hanya sekali dalam setahun, warga Desa Tanjung Belit, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar dapat menikmati sensasi menangkap ikan di lubuk larangan.

Kesempatan langka pada hari, Minggu (28/8/2016) itu seperti tidak disia-siakan. Ratusan warga yang datang dari pemukiman tumpah ruah memadati pinggiran Sungai Subayang, para wanita bersiap di tenda terpal menyiapkan bumbu dapur.

Sedangkan pria, mulai dari remaja hingga orang tua hilir mudik membawa berbagai jenis ikan, alhasil, lebih dari satu ton ikan berhasil dijaring hanya dalam waktu kurang lebih tiga jam.

Menurut Kepala Desa Tanjung Belit, Efri Desmi, tradisi unik ini pada awalnya berasal dari keputusan Ninik Mamak, atau para tetua pada tahun 1970an dengan tujuan untuk menjaga kelestarian sungai.

"Banyak nilai positifnya, sungai ini bisa kita jadikan aset desa, ajang tahunan ini juga dapat menjadi tempat untuk bersilaturahmi para penduduk," ujar Efri sambil menjelaskan bahwa sebelum memulai memanen ikan, terdapat serangkaian prosesi adat tertentu yang harus dilalui.

Pertama sekali, ustadz desa harus membacakan doa-doa khusus, setelah itu tiga orang tokoh adat menaiki sampan, yang paling depan adalah Datuk Godang, bagian tengah Datuk Majo, dan dikemudi atau yang paling belakang adalah Datuk Singo.

Yang pertama menjaring ikan adalah Datuk Godang, saat itu tidak ada satupun warga yang boleh menjaring ikan sebelum Datuk Godang mendapatkannya terlebih dahulu.

Setelah mendapatkan seekor ikan, ikan tersebut dipotong dua, pada bagian kepala dibuang ke darat oleh Datuk Godang lalu pada bagian ekor dibuang ke sungai oleh Datuk Singo.

“Orang dulu lebih mempercayai, yang di darat ada yang memiliki dan di sungai juga ada yang memiliki,” Ujar Efri.

Diceritakannya lagi, dahulu pelarangan mengambil ikan di lubuk larangan sifatnya hanya himbauan saja, siapa yang melanggar akan mendapatkan sanksi adat.

"Namun itu tidak aman, termasuk diri kita sendiri ada godaan untuk mengambilnya, jadi para tetua adat punya pemikiran, kita bacakan surat dalam Al quran, dan kita berdoa agar tidak ada yang mau mengambilnya, akhirnya tidak ada yang berani, mungkin Tuhan tidak mengizinkannya,” tambahnya.

Proses pengambilan ikan di Lubuk Larangan berlangsung dari jam 08.00 WIB hingga selesai sekitar jam 11.00 ikan-ikan yang didapat tersebut nantinya dibagi, agar ada semangat warga untuk menyumbang namun untuk ikan yang diatas satu kilogram akan dilelang.

"uang hasil lelang akan diberikan untuk pengembangan mesjid dan anak yatim, setelah itu bila ada lebih akan masuk ke kas pemuda dan kas PKK,” tambah Efri.

Ikan di lubuk larangan hanya boleh diambil sekali dalam setahun, biasanya dilakukan setelah Bulan Ramadhan, atau pada bulan Agustus maupun September, ketika musim kemarau saat air sungai surut.

Di desa tersebut ada dua lubuk larangan dan rencananya akan ditambah satu lagi untuk menambah kelestarian penghuni sungai.

"Disini ikannya bermacam-macam, ada ikan sengarek, patin, barau, belida dan gurami, kawasan ini kita jaga, bahkan kita setuju untuk tidak boleh melakukan pertambangan,” tutup kepala desa tersebut.

Dari pantauan dilapangan, panjang sungai pada lubuk larangan hanya sekitar 500 meter, namun ditempat tersebutlah ikan banyak berada karena kondisinya yang dalam dan tenang.

Selain dijaring, para pemuda juga menyelam bermodalkan kaca mata renang dan panah. Sekali menjaring warga dapat menarik tiga sampai enam ekor ikan berbagai ukuran.

Setelah semua proses penangkapan selesai. Ikan yang berukuran kecil dibagi berdasarkan banyaknya warga yang sudah mendaftar terlebih dahulu, untuk mendapatkan satu kantong plastik ikan, warga hanya membayar Rp 25 ribu.

Untuk ikan dengan berat diatas satu kilogram diadakan pelelangan hingga ratusan ribu rupiah per ekor nya, untuk seekor ikan sengarek seberat 6 kg lebih, warga bisa menawar hingga Rp 750 ribu.

Sementara itu Humas WWF Riau, Syamsidar mengungkapkan bahwa kegiatan ini adalah bentuk kearifan lokal masyarakat setempat dalam memperhatikan keseimbangan ekosistem,

"Adanya lubuk larangan ini tentu berperan penting bagi sungai dan juga hutan sebagai pengatur fungsi tata air, hal seperti ini harus dijaga agar keberlangsungan ekosistim terus berlanjut,” Kata Syamsidar.

Ia menambahkan, acara ini juga dapat menjadi daya tarik eko wisata pada kawasan blok Hutan Rimbang Baling. (radarpku)


Sumber : Tribunnews