United Liberation Movement for West Papua Bangun Kantor Pemerintahan Di Wamena

Sabtu, 20 Februari 2016

Juru Bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Gerakan Pembebasan Papua, Benny Wenda

RADARPEKANBARU.COM - Juru Bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Gerakan Pembebasan Papua, Benny Wenda, meminta pemerintah Indonesia tak bereaksi berlebihan terkait peresmian kantor mereka di Wamena, Kabupaten Jayawiyana.

“Pemerintah Indonesia tak perlu khawatir dengan pembukaan kantor baru ULMWP di Papua. Setelah Papua merdeka, kami akan menjadi tetangga yang baik bagi Indonesia. Tentu saja kami punya hak untuk membangun kantor di mana pun kami suka di tanah kami sendiri,” kata Benny dalam wawancara dengan CNNIndonesia.com.

Benny menyebut pemerintah Indonesia terlalu ketakutan menanggapi keberadaan Gerakan Pembebasan Papua sampai-sampai mencopot plang kantor ULMWP di Papua, beberapa saat setelah kantor itu baru diresmikan.

Markus Haluk, salah satu pejabat Gerakan Pembebasan Papua yang menghadiri peresmian kantor organisasinya di Wamena, menyatakan pencopotan plang kantor tak akan menghentikan aktivitas ULMWP.

“Itu (plang) hanya tanda dan tiang. Meski dicopot, rumah tradisional kami, Honai (yang menjadi kantor kami), masih di sana. Gerakan Pembebasan Papua tak akan berhenti,” kata Markus dalam keterangan tertulisnya.

Honai ialah rumah tradisional Papua yang berbentuk melingkar. Honai yang merupakan identitas suku Papua, ujar Markus, menyimbolkan persatuan.

Sekretaris Jenderal Gerakan Pembebasan Papua, Octo Mote, mengatakan terganggu dengan reaksi pemerintah lokal di Wamena terhadap kantornya.

Pria yang merupakan Senior Human Rights Fellow di Yale Law School Amerika Serikat itu menyebut Gerakan Pembebasan Papua diganggu otoritas Indonesia sejak Juli 2015.

“Tiga perwakilan lokal ULMWP di Fakfak dijerat Pasal 510 KUHP dengan tudingan menyebabkan keresahan masyarakat. Anggota, pendukung, pengikut, pengurus ULMWP, atau siapa pun yang terlihat dengan pekerjaan organisasi kami, dianggap melakukan makar atau memberontak,” tuding Octo.

Octo merasa frustasi dengan sistem hukum warisan kolonial Belanda yang dipakai Indonesia, sebab memungkinkan polisi dan pejabat pemerintah menghambat satu forum, sementara itu “Melanggar hak rakyat Papua untuk bebas berekspresi dan berkumpul secara damai.”

Gerakan Pembebasan Papua mempunyai misi agar rakyat Papua dapat menentukan nasib sendiri, dan membawa kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua ke Komisi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tak mau diancam

Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan Gerakan Pembebasan Papua harus mengikuti aturan yang ada di Indonesia.

Luhut menganggap Gerakan Pembebasan Papua hanya ingin menunjukkan eksistensinya, sekaligus menegaskan pemerintah Indonesia tak bisa begitu saja diancam oleh gerakan itu.

“Apa itu ancaman? Negara berdaulat kok diancam-ancam,” kata Luhut dengan nada tinggi di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (19/2), saat menjemput Jokowi sepulang sang Presiden melawat dari Amerika Serikat.

Luhut menyatakan pemerintah Indonesia, termasuk Presiden Jokowi, selama ini selalu memerhatikan Papua. Semua perbaikan yang terjadi di provinsi itu, kata Luhut, diwujudkan secara bertahap, tak terjadi dalam semalam.

“Pemerintah tidak dalam posisi menyerang, tapi kami selalu dihajar,” kata Luhut.

Ia mengatakan, selama ini pemerintah Indonesia menggelontorkan dana otonomi khusus yang tak sedikit untuk membangun Papua, lebih dari Rp50 triliun. [cnni]