Pers ternyata masih mudah dibelah oleh kepentingan politik

Ahad, 24 Januari 2016

Pers Kita

RADARPEKANBARU.COM-KETIKA pers masuk ke ranah industri, haruskah pers kehilangan idealismenya? Pertanyaan ini muncul di Amerika Serikat dan Eropa lebih seratus tahun lalu, ketika liberalisme pers begitu kuat tanpa kontrol.

Kondisi ini membuat banyak pakar pers yang resah karena liberalisme pers membuat pers tak banyak memberikan dampak kepada masyarakat, tak lagi memberikan ruang kepada publik, dan hanya berorientasi bisnis. Persaingan sesama media membuat banyak media yang “membabi-buta” dalam menyajikan berita dan artikelnya, dan hanya berita yang dianggap “layak jual” yang bisa mereka muat.

Artinya, berita  sepenting apapun tetapi dianggap tak akan menarik pembaca, akan ditepikan. Hukum pasar berlaku: yang kuat dan kreatif yang akan tetap hidup, sementara media konvensional yang masih mengedepankan idealisme, menjadi semakin ditinggalkan.

Salah seorang yang gerah dengan kondisi itu adalah Bill Kovac. Bersama para koleganya, dia memeras otak, bagaimana supaya selain orientasi bisnis, media juga masih memiliki “nurani” dan idealisme kepada masyarakat. Dia sadar, bahwa pers saat ini banyak dikuasai oleh kelompok bisnis yang tidak hanya di jalur pers, tetapi juga di bisnis lainnya, termasuk politik.

Untuk hal seperti itu, Kovac memberikan jalan keluar:  “Jika wartawan/media memiliki hubungan yang bisa dipersepsikan sebagai konflik kepentingan, mereka berkewajiban melakukan full-disclosure tentang hubungan itu.”

Tujuannya adalah agar  pembaca waspada dan menyadari bahwa tulisan/liputan itu tidak independen-independen amat. Ada muatan bisnis di dalamnya.

Kasus yang menimpa salah satu koran kuning terbesar di Inggris milik Ruper Murdoch, News of The World (NoTW),  harus menjadi pelajaran bagi siapapun pengelola pers. Bahwa tekanan bisnis dan kepentingan, bisa membuat pengelola media melakukan segala cara, termasuk apa yang dilakukan CEO koran itu, Rebekah Brooks.

Brooks memerintahkan para wartawannya bisa dan harus mendapatkan berita eksklusif, bagaimanapun caranya termasuk melakukan penyadapan, menyuap sumber, dan sebagainya, yang menurut Kovac, amat salah dan tak sesuai dengan 9 prinsip jurnalistik: pencarian kebenaran, loyal dan berpihak terhadap masyarakat, disiplin verifikasi, independen dari obyek liputan, menjadi pemantau kekuasaan, memberi forum bagi kritik, menjadikan hal yang penting menjadi menarik dan relevan, membuat berita yang komprehensif dan proporsional, dan memiliki hati nurani secara personal.

Tanpa prinsip itu, kata Kovac, maka media akan menggali kuburnya sendiri, dan kalaupun tidak, akan kehilangan harga diri.  Kehilangan kredibilitasnya, dan tak dihargai lagi oleh publik.

Di Indonesia, ketika kebebasan pers dibuka seiring bergulirnya reformasi, ribuan media terbit dengan berbagai macam genre dan jenis. Eforia ini muncul akibat kekangan Orde Baru terhadap pers. Ketika tali pengikat itu dibuka, bagai air bah, media terbit seperti aliran air yang menjebol bendungan. Banyak yang tak terkendali, baik dalam hal konten yang banyak menyalahi etika pers, maupun etika para personilnya di lapangan.

Kondisi ini sama seperti yang terjadi di Eropa maupun Amerika Serikat sekian ratus tahun lalu ketika semuanya dibebaskan. Namun, pelan tapi pasti, hukum dan seleksi alam terjadi. Media yang hanya mengandalkan semangat tanpa memahami etika, tak memahami ideologi, tak memahami pasar, dan hal-hal lain yang menjadi variabel  kehidupan media, akhirnya rontok satu per satu. Ada yang mati karena sentuhan bisnisnya tak hidup, ada yang dimatikan oleh pengadilan karena tersandung kasus hukum, atau dimatikan oleh masyarakat karena kasus pornografi misalnya.

Bahwa pemerintah benar-benar tak ikut campur sebagaimana yang dilakukan Orde Baru, juga Orde Lama, adalah hal yang pantas diapresiasi karena di negara-negara tetangga kita yang selama ini dianggap maju dunia persnya, seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand, kebebasan persnya tak seperti kita. Mereka masih menerapkan pers otoritarian, teori pers tertua, yang memungkinkan swasta memiliki lembaga pers, tetapi kontrol tetap dilakukan oleh penguasa. Hal yang dilakukan Orde Baru dan Orde Lama, yang mengontrol pers hingga ke akarnya dengan alasan demi kepentingan negara.

Namun, di luar persoalan tersebut, baik dari internal persnya maupun pemahaman masyarakat tentang kebebasan pers, belum mendalam. Banyak media dan wartawan yang belum memahami fungsi kebebasannya dengan segala konsekuensi. Bahwa kebebasan pers bagi mereka adalah kebebasan untuk melakukan apa saja, atau memberitakan apa saja tanpa mengenal etika. Akibatnya, banyak terjadi kasus pers. Masyarakat yang melek pers, ketika harus berhadapan atau konflik dengan pers, tahu kelemahan institusi pers yang hanya bermodal semangat tersebut.

Sebaliknya, di seberang pagar, lembaga-lembaga di luar pers, termasuk lembaga pemerintah, juga banyak yang belum memahami kebebasan pers yang diberikan. Mereka masih menganggap kondisi sekarang seperti zaman Orba, yang semuanya diatur pemerintah. Benturan di lapangan sering terjadi.

Dan di luar itu semua, pers ternyata masih mudah dibelah oleh kepentingan politik. Dalam Pilpres 2014 lalu, atau dalam pesta-pesta Pilkada, pers dengan mudah dimanfaatkan kelompok-kelompok.  Dalam Pilpres 2014 misalnya,  muncul dua blok bersamaan dengan adanya dua blok calon presiden. Kedua-duanya merasa yang paling benar dan tak menyadari bahwa masyarakat kita sebagian sudah dewasa dalam memahami. Namun, banyak juga masyarakat yang masih membutakan diri dalam membela kelompoknya, sehingga sepaham dan sebahasa dengan pers yang menjadi pendukung salah satu kelompok tersebut.

Hal itu masih berlangsung hingga kini, sehingga dalam berbagai pertarungan politik, pers juga seperti ikut dalam pertarungan politik tersebut. Bahkan, ada pers yang dengan sadar dan berani membodohi masyarakatnya, misalnya soal hitung cepat hasil Pilpres maupun Pilkada.Inilah pekerjaan rumah yang berat bagi kita untuk menempatkan pers sebagai lembaga yang independen dan mencerdaskan masyarakat. Namun yang lebih penting lagi adalah menjaga agar pers, terutama pers cetak, tetap menjaga nyala apinya, agar tak tergerus oleh kemajuan teknologi yang memungkinkan media internet berkembang pesat. Sebab, jika nyala dan sentuhan itu tak muncul, maka itulah yang dilakukan Rebekah Brooks dan NoTW: membabi buta, dan akhirnya menggali lubangnya sendiri. (*)

Sumber : Riaupos.co / @harybkoriun