PT Riau Baraharum Beserta 30 Perusahaan Energi Tak Laporkan Penerimaan Kepada Negara

Selasa, 24 November 2015

Ilustrasi

RADARPEKANBARU.COM-PT Riau Baraharum dan 30 Perusahaan Energi Tak Laporkan PenerimaanTim Transparansi Industri Ekstraktif atau Extractive Industries Transparancy Initiative (EITI) baru saja merilis laporan rekonsiliasi yang mencakup data penerimaan negara dari sektor energi, khususnya minyak dan gas (migas), serta mineral dan batubara (minerba) pada periode 2012 dan 2013. Data rekonsiliasi EITI mencatatkan 31 perusahaan yang tidak melaporkan penerimaan perusahaan, sekitar Rp 3,02 triliun.

Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Lukita Dinarsyah Tuwo mengharapkan, ada transparansi dalam pelaporan penerimaan perusahaan untuk menghindari praktik korupsi. Menurutnya, transparansi laporan aliran penerimaan perusahaan bisa menjadi sumber informasi untuk persaingan bisnis, koordinasi pemerintah, dan sumber informasi wilayah/ sektor ekstraktif bagi masyarakat.

"Transparansi penting untuk kompetisi, kesejahteraan negara dan masyarakat, serta bagian dari antikorupsi," tegas Lukita di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (23/11).

Adapun penerimaan yang tidak dilaporkan senilai Rp 3,02 triliun tersebut terhitung dari penerimaan pajak korporasi dan dividen 10 perusahaan migas pada 2012 dan 2013 masing-masing US$ 97,57 juta dan US$ 29,56 juta. Bila dihitung dengan nilai tukar rupiah pada level Rp 13.600 per dolar As, total dua tahun tersebut setara dengan Rp 1,73 triliun. Selain itu, juga berasal dari royalti dan pajak hasil tambang (PHT) dari 21 perusahaan sektor minerba, masing-masing Rp 528,53 miliar dan Rp 759,67 miliar.

Data EITI mencatatkan 10 perusahaan migas yang tidak melapor, yakni EMP ONWJ Ltd., Risco Energy ONWJ/ Salamandar, Hess, PT Imbang Tata Alam, PT Surya Kencana Perkasa, PT Petross Petroleum Production, Gulf Petroleum Investment Co., Lion International Investment Ltd., Fuel X Tungkai, dan Orchard Energy Sumatera BV/ Risco Energi SES.
Sedangkan, 21 perusahaan minerba tersebut meliputi PT Riau Baraharum, PT Sumber Kurnia Buana, PT Sebuku Iron Lateritic, PT Bara Alam Utama, PT Bhumi Rantau Energi, PT Energi Batubara Lestari, PT Gema Rahmi Persada, PT Karya Gemilang Limpah Rejeki, PT Kayan Putra Utama Coal, dan PT Padang Anugerah. Selanjutnya, PT Tunas Muda Jaya, KUD Gajah Mada, PT Bukit Merah Indah, PT Citra Silika Malawa, PT Fajar Mentaya Abadi, PT Gunung Sion, PT Serumpun Sebalai, PT Stargate Pasific Reaources, PT Telaga Bintan Jaya, PT Tinindo Inter Nusa, dan PT Tujuh SW.

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi SDA dan Lingkungan Hidup yang juga selaku Ketua Tim Pelaksana Transparansi Industri Ekstraktif Montty Girianna menjelaskan, ketidakpatuhan pelaporan terjadi akibat sifat pelaporan masih voluntary (sukarela) perusahaan. Sifat pelaporan yang sukarela mengakibatkan tidak adanya hukuman kepada perusahaan esktraktif yang ada. Untuk itu, pemerintah tengah mencari skema agar pelaporan menjadi mandatory.
"Tahum akan datang, kami akan cari skema yang baik dan bisa diterima oleh kita-kita dan industri agar bisa jadi mandatory. Tapi itu harus dibicarakan lebih lanjut," ujar Monty.

Lebih lanjut, Monty menyebutkan, Indonesia ditetapkan dalam status EITI Compliant (taat azaz transparansi penerimaan industri ekstraktif) dalam sidang tahunan Dewan Internasional EITI.(*)


Margye J Waisapy/KUN

Investor Daily