Tidak ada lagi pemandangan hijau segar penuh keteduhan di kawasan Suaka Margasatwa Kerumutan Riau

Senin, 02 November 2015

Anggota Manggala Agni sedang sibuk memadamkan api yang menyala secara sporadis di Suaka Margasatwa Kerumutan, Rabu (28/10/2015).

RADARPEKANBARU.COM- Tidak ada lagi pemandangan hijau segar penuh keteduhan di kawasan Suaka Margasatwa Kerumutan, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Pohon-pohon besar dan semak belukar yang tumbuh lebat di lahan gambut itu musnah terbakar. Hanya tersisa tunggul-tunggul kayu dan gambut yang berubah menjadi arang menghitam. Asap menguar dari dalam lahan yang mengandung bara api.

Sekitar 25 personel Manggala Agni, pasukan pemadam kebakaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), menyemprotkan air untuk meredam api pada 28 Oktober 2015 itu. Sudah dua bulan mereka berjibaku melawan api di kawasan Suaka Margasatwa Kerumutan bagian timur. Keselamatan jiwa mereka terancam setiap waktu, dari risiko gangguan pernapasan, kejeblos ke lahan gambut, hingga terkaman binatang buas.

Toh, kebakaran lahan gambut memang sukar dijinakkan. Kerumutan menjadi salah satu titik panas (hotspot) di Riau yang belum sirna hingga kini. Asap kebakaran dari lahan itu menjadi salah satu penyumbang kabut asap yang mengepung masyarakat Riau tiga bulan terakhir ini.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah titik api di Riau dari 1 September hingga 29 Oktober 2015 mencapai 1.744. Sedangkan data Kementerian LHK menyebutkan, dari 1 Januari hingga 29 September jumlah hotspot mencapai 1.831 titik.

Dari jumlah itu, hotspot paling banyak berada di hutan produksi (469 titik), hutan produksi terbatas (398 titik), kawasan konservasi (264 titik), hutan produksi konvensi (221 titik), dan sisanya hutan lindung.

Tidak hanya di Riau, kebakaran lahan dan hutan dalam skala lebih besar terjadi di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Kebakaran juga melanda hutan di Jawa, Sulawesi, hingga Papua.

Di Sumatera Selatan, jumlah hotspot yang terekam sejak 1 September mencapai 23.444, sementara di Kalimantan Tengah muncul titik panas sebanyak 23.721 sepanjang dua bulan itu.

Tidak semua hotspot menjadi penanda lahan di suatu hutan terbakar. Namun area hutan yang ludes dilahap api sangat luas. Kementerian LHK menyebut 1,6 juta hektare lahan dan hutan telah terbakar.

Data itu baru kebakaran di Sumatera dan Kalimantan berdasarkan dokumen September 2015. Dari 1,6 juta lahan area terbakar, hampir 40 persennya merupakan gambut yang disulap menjadi perkebunan sawit atau eukaliptus. “Yang lainnya adalah tanah mineral,” ujar juru bicara Kementerian LHK, Eka W. Sugiri.

Juru bicara BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, menambahkan, 99 persen kebakaran di Sumatera dan Kalimantan terjadi karena kesengajaan. Perusahaan-perusahaan pemegang konsesi hutan memilih cara cepat dan murah untuk melakukan pembersihan lahan (land clearing).

“Membersihkan 1 hektare hutan secara mekanis bisa (menghabiskan) Rp 8 juta. Kalau dengan membakar, cukup korek api atau 1 liter bensin,” ujarnya. Sedangkan di Jawa, kebakaran lebih disebabkan oleh kecerobohan atau ketidaksengajaan.

Luasnya hutan yang terbakar membuat volume asap yang terlempar ke udara cukup besar. Tentu saja Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah menjadi wilayah yang paling parah terkena dampak asap. Awal September, hampir 80 persen wilayah Sumatera tertutup asap. Kondisi yang sama menyusul terjadi di Kalimantan. Akibat tebalnya kabut asap di Kalimantan, satelit bahkan tidak mampu mendeteksi keberadaan hotspot.

Asap juga menyebar ke Malaysia dan Singapura, hingga aktivitas belajar-mengajar di kedua negara itu sempat diliburkan. Bahkan asap sudah menjangkau Thailand dan Filipina.

Jarak pandang di Sumatera dan Kalimantan sempat hanya 50 meter, sementara Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) di kedua daerah itu berulang kali memasuki level tertinggi, yaitu berbahaya (984).

Sejauh ini, kebakaran hutan dan kabut asap yang ditimbulkannya telah menyebabkan 24 orang meninggal. Adapun warga yang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) lebih dari setengah juta orang.

Makin pekatnya kabut asap membuat beberapa daerah yang terkena dampak menetapkan status tanggap darurat. Status tersebut juga diperpanjang beberapa kali karena tingkat pencemaran udara yang membahayakan.

Direktur Wetlands International Indonesia Nyoman Suryadiputra mengatakan kebakaran tahun ini merupakan yang terparah di Indonesia. Emisi gas rumah kaca dari lahan gambut yang terbakar sejak Agustus lalu melebihi emisi gas rumah kaca di Jerman dalam setahun.

“Kita bisa membayangkan, Jerman itu negara industri, emisinya tidak rendah. Tapi kita sudah melampaui emisi Jerman,” ujarnya. Versi BNPB, kebakaran hutan telah memasok sekitar 1,1 miliar ton karbon dioksida ke udara.

Sedangkan Direktur Center for International Forestry Research Herry Purnomo mengatakan kebakaran pada 1997/1998 lebih luas dari tahun ini, yakni 9,7 juta hektare. Namun kebakaran pada tahun itu bersifat sporadis. “Dan asapnya tidak sehebat sekarang. Ekosistem kita juga lebih buruk dibanding waktu itu,” katanya.

Di Sumatera, untuk pertama kalinya kebakaran hutan memaksa suku yang tinggal di pedalaman, suku Anak Dalam atau Orang Rimba, mengungsi. Sekitar 20 orang suku di Sarolangun, Jambi, berjalan ratusan kilometer untuk menghindari serbuan asap. Mereka melintasi hutan dari Jambi ke Sumatera Barat hingga Riau.

Makin banyaknya hutan yang terbakar di Papua juga menjadi sorotan tersendiri. Dari seluruh hotspot, 10 persennya berada di Papua. Skala kebakaran itu belum pernah terjadi sebelumnya. “Papua memang wilayah terbaru bagi pengembangan industri perkebunan,” ujar juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Teguh Surya.

Parahnya kebakaran hutan diperburuk oleh fenomena El Nino yang cukup kuat. Penyimpangan iklim itu membuat musim kemarau di Indonesia lebih panjang dari yang diperkirakan. Hujan dipandang sebagai senjata paling efektif untuk memadamkan kebakaran hutan.

Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin mengatakan Indonesia diperkirakan memasuki musim hujan pada bulan Oktober atau November. Namun hujan baru akan turun pada November-Desember. “Secara kasar bergeser satu bulan,” katanya.

Hingga kini, pemerintah terus berupaya memadamkan api dan menanggulangi dampak kabut asap. Namun upaya pemerintah itu dihadapkan pada berbagai tantangan berat. Kebakaran baru masih ditemukan. Api juga kerap muncul kembali dari lahan gambut yang telah padam. Berharap pada hujan, tapi kemarau masih berusia panjang. (irw/irw/dtk)