4 Poin Seruan Koalisi Penyelamat Sumber Daya Alam Riau Kepada Pemerintah

Kamis, 10 September 2015

Diskusi di hotel grandzuri

RADARPEKANBARU.COM-Koalisi Penyelamat Sumber Daya Alam Riau (Koalisi PSDA Riau) yang terdiri dari Ngo Jikalahari, Fitra Riau, Walhi Riau, Greenpeace sea, Riau Corruption Trial, Yayasan Elang, Yayasan Mitra Insani, WWF Riau dan Telapak BT Riau.

Koalisi PSDA Riau menyerukan kepada pemerintah indonesia agar mengambil kebijakan, pertama menetapkan Riau darurat asap, kedua dijalankan GNPSDA KPK, ketiga sediakan anggaran berbasis lingkungan hidup dan ke empat lakukan penegakan hukum terhadap pembakar hutan dan lahan gambut.

"Pemerintah harus tampil didepan dalam rangka penegakan hukum"kata jurubicara WWF Riau.

Dinamisator KPSDA Riau, Muslim Rasyid mengatakan, arahan Presiden Joko Widodo pada 4 September 2015 mengatasi bencana kabut asap salah satunya di Provinsi Riau dengan mengerahkan satu pesawat, tiga helikopter untuk melakukan pemadaman, layak diapresiasi sebagai respon cepat dan bentuk tanggungjawab presiden.

Koordinator Jikalahari, Woro Supartinah menyebutkan, merujuk Pasal 26 PP Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, bila angka Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) mencapai 300 atau lebih, Menteri dan Gubernur harus segera menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat.

"Meski satu pesawat dan tiga helikopter telah bekerja dengan baik memadamkan api di lokasi pembakaran, sejak 1-8 September 2015, kabut asap kian tebal justru menyelimuti Kota Pekanbaru, jarak pandang hanya seratus meter, dan ISPU malah menunjukkan kategori Sangat Berbahaya," kata Woro.

Ia melanjutkan, agar pusat bisa memadamkan api dengan cepat, Gubernur Riau harus segera naikkan status dari siaga menjadi tanggap darurat asap. "Gubernur Riau secepatnya memasukkan anggaran khusus berbasis lingkungan hidup dalam APBD Riau, salah satunya pencegahan dan penanganan Karhutla. Ini penting, sebab selama ini tidak pernah dianggarkan di APBD Riau, sehingga lamban memadamkan api," tambah Kordinator Fitra Riau, Usman.

Arahan lainnya, Presiden Jokowi juga memerintahkan agar Menteri dan Gubernur sesegera mungkin membuat terobosan solusi permanen untuk mengatasi bencana asap agar tidak terjadi lagi. "Solusi permanen menurut kami adalah mengimplementasikan GNSPDA KPK, di mana Gubernur Riau harus mengimplementasikan 19 Renaksi," kata Muslim Rasyid.

Di tengah deforestasi-degradasi terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif di Riau melalui produk hukum yang menguntungkan korporasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berupaya menghentikan praktik-praktik tersebut melalui Gerakan Nasional Penyelamat Sumber Daya Alam bersama Gubernur dan Kementerian.

Dalam GNPSDA Pemprov Riau harus menyelesaikan pengukuhan kawasan hutan, penataan ruang dan wilayah administrasi, penataan perizinan kehutanan dan perkebunan, perluasan wilayah kelola masyarakat, penyelesaian konflik kawasan hutan, penguatan instrumen lingkungan hidup dalam perlindungan hutan dan membangun sistem pengendalian anti korupsi.

Selain pencegahan, Koalisi PSDA Riau juga mendesak kepada Presiden Jokowi, Kemen LHK, Gubernur Riau, Bupati/Walikota se Riau melakukan penegakan hukum lingkungan hidup berupa penegakan hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana. "Ketiga penegakan hukum ini bisa dilakukan secara bersamaan guna menghentikan kabut asap baik sebelum maupun sesudah Karhutla terjadi," kata Muslim Rasyid.

Gubernur Riau dan Walikota/Bupati harus mengenakan sangsi administratif berupa paksaan pemerintah terhadap korporasi yang telah melakukan pembakaran lahan dan hutan gambut di dalam konsesinya.

Pengenaan paksaan pemerintah dapat diberikan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan, ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup, kemudian dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan atau perusakan serta kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan atau perusakannya. "Dampak Karhutla berupa kabut asap yang menimpa masyarakat Riau dan lingkungan hidup telah memenuhi ketiga unsur tersebut," terang Woro Supartinah.

Untuk menghitung kerugian bisa menggunakan Peraturan Menteru Lingkungan Hidup Nomor 7 tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Akibat Pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. "Jika Pemerintah Gubernur dan Bupati/Walikota sengaja tidak menerapkan sangsi administrasi, kami mendorong Menteri Lingkungan Hidup mengenakan sangsi administrasi pada korporasi. Menteri menghentikan sementara seluruh kegiatan korporasi," kata ED Walhi Riau, Riko Kurniawan.

Selain itu, pemerintah juga harus menggunakan Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah guna mengajukan gugatan rugi dan tindakan tertentu terhadap korporasi karena telah mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Langkah Polda Riau telah menetapkan 30 tersangka warga, dan satu korporasi serta lima korporasi yang sedang diselidiki Kemen LHK, langkah yang patut diapresiasi.

Pantauan hotspot Jikalahari menunjukkan Karhutla terjadi di dalam kawasan hutan baik yang berizin maupun tidak berizin. Sepanjang Januari-Agustus 2015, 56 korporasi HTI menemukan PT. Ruas Utama Jaya dan PT. Arara Abadi dan PT. Sumatra Riang Lestari terbakar.

Sementara ada 38 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terdeteksi hotspot. "Khusus untuk tiga perusahaan HTI yang kami temui di konsesinya terbakar akan kami laporkan ke Kemen LHK dan Polda Riau," kata Woro Supartinah menambah.

Woro mendesak Kemen LHK segera menyelesaikan penyidikan terhadap 10 tersangka korporasi yang hutan dan lahannya terbakar tahun 2013-2014. "Ada lima HTI dan sawit. Baru PT Jatim Jaya Perkasa yang sudah divonis PN Rohil, sisanya kok belum," tanya dia.

Berdasarkan data korporasi HTI yang terbakar sejak 2013-2014 di Riau, tersangka pertama yakni PT. Ruas Utama Jaya dengan lahan terbakar 966 hektar dengan temuan P-19 yakni berlokasi di Rohil. Kemudian PT. Bukit Batu Hutani Alam dengan lahan terbakar 30 hektar temuan P-19 di wilayah Bengkalis

Kemudian PT. Suntara Gajapati dengan lahan terbakar sebanayak 1.200 hektar dengan temuan P-19 di Dumai. PT. Sakato Pratama Makmur dengan lahan yang terbakar 1.500 hektar dengan temuan P-19 di daerah Bengkalis. Serta PT Sumatera Riang Lestari dengan lahan terbakar 1.000 hektar, temuan P-9 di Bengkalis.

Sementara korporasi perkebunan sawit dengan tersangka PT. Triomas FDI denga lahan terbakar sebanyak 400 hektar, temuan P-19 lokasi yakni berada di Kabupaten Siak. Kemudian PT Teguh Karsa Wanalestari dengan lahan yag terbakar 500 hektar, temuan P-19 lokasi juga di Siak.

Ketiga yakni PT. Bhumireksa Nusasejati dengan lahan yag terbakar 50 hektar, temuan P-19 lokasi di Inhil. PT. Jatim Jaya Perkasa dengan lahan terbakar 1.000 hektar, temuan P-21 di lokasi Rohil kemudian yang terakhir yang ditetapkan sebagai tersangka yakni PT Langgam Inti Hibrindo dengan lokasi 1.000 hektar temuan P-19 lokasi di Kabupaten Pelalawan.

"Kami juga berharap Kemen LHK dan Polda Riau menindak juga 53 perusahaan HTI dan 38 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terdeteksi hotspot yang setiap tahun lahan mereka terbakar," lanjutnya.

Koalisi Masyarakat Sipil di GN PSDA Juga mendorong Polisi dan Penyidik PPNS Kemen LHK menggunakan rezim money laudering (pencucian uang) dalam perkara hutan dan lahan gambut. "Kami menduga telah terjadi tindakan pidana pencucian uang yang dilakukan korporasi saat pembakaran dilakukan didalam konsensinya," terang Kordinator Made riau corruption trial, Made Ali.

Dugaan tersebut merujuk pada hasil penelitian ahli Karhutla Prof. Bambang Hero Saharjo dan DR. Basuki Wasis dalam perkara Karhutla di atas gambut menyebutkan, terbakarnya lahan sama sekali tidak menimbulkan kerugian bagi perusahaan, justru memberikan keuntungan secara ekonomis.

"Dengan terbakarnya lahan, perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli kapur yang digunakan untuk meningkatkan PH gambut dan biaya pengadaan pupuk dan pemupukan, kerena sudah digantikan dengan adanya abu dan arang bekas kebakaran, serta biaya pengadaan pembelian pestisida untuk mencegah ancaman serangan hama dan penyakit," sebutnya.

Perusahaan juga diuntungkan kerena jelas akan memangkas biaya operasional seperti upah tenaga kerja, bahan bakar, serta biaya-biaya lain yang dibutuhkan. "Pembakaran hutan dan lahan gambut di dalam konsensinya baik yang disengaja maupun lalai telah memenuhi unsur predikat crime berupa tindak pidana lingkungan hidup. Selanjutnya penegakan hukum harus follow the money-nya," tutup Made Ali.

(radarpku)