Kejati Riau Tetapkan Ketua LPPM Unilak Sebagai Tersangka

Senin, 08 Juni 2015

RADARPEKANBARU.COM - Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau akhirnya menetapkan Ketua LPPM Unilak, Dr Ir Erva Yendri sebagai tersangka, atas dugaan tindak pidana korupsi, dalam pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh LPPM Unilak, dengan Badan Penelitian dan Pembangunan Provinsi Riau Tahun Anggaran 2014. Penetapan status tersangka ini, sesuai Nomor Print : - 03/N.4/ Fd.1/ 05/2015 tanggal 26 Mei 2015. Kasus ini bermula pada 2014 lalu, dimana telah dilakukan kerjasama antara Balitbang dengan LPPM Unilak, untuk melakukan penelitian terkait sembilan judul Penelitian dengan Total anggaran sekitar Rp5,5 Miliar. Saat itu, dana ini dikelola oleh Elva Yendri yang menjabat selaku Ketua LPPM Unilak. "Kerjasama itu sebagai tindak lanjut dari MoU (Nota Kesepakatan) antara Balitbang Provinsi Riau dengan LPPM Unilak tentang Kerjasama Pembangunan Daerah," ujar Kasi Penkum dan Humas Kejati Riau, Mukhzan, Senin (8/6/2015) malam. Hasil penyelidikan, sambung Mukhzan, penyidik menemukan kalau sembilan judul hasil penelitian itu ternyata tidak pernah disebar, dengan cara diseminarkan di depan Mahasiswa dan Dosen, serta tidak pernah dipublikasikan. Begitu juga dengan tim pelaksana, yang ternyata tidak semuanya berasal dari kalangan dosen. Bahkan dosen peneliti juga tidak pernah ikut dalam penelitian. Namun dalam laporan pertanggungjawaban penggunaan dana penelitian, tanda tangan mereka dipalsukan, serta adanya kuitansi fiktif yang digunakan untuk memenuhi Laporan pertanggungjawaban. "Kita duga yang bersangkutan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu Pasal 46 ayat (3) UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Serta Pasal 46 ayat (3) dan Pasal 61 PP No 58 Tahun 2005, tentang pengelolaan keuangan daerah, Serta Pasal 132 ayat (1) Permendagri No 13 Tahun 2006, tentang Pedoman pengelolaan keuangan daerah," ujar Mukhzan. Selain itu, tersangka juga melanggar Pasal 26 ayat (3) dan (4) Perpres No 70 Tahun 2012, tentang Pengadaan barang atau jasa pemerintah, sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP. "Dapat kita simpulkan ada suatu pidana dan terdapat kerugian negara. Sementara ini, kita hitung kerugian negara sekitar dua miliar," tutupnya. (Rls/Kejati)