Dirgahayu yang ke-68 Tahun HMI

Kamis, 05 Februari 2015

68 Tahun HMI

RADARPEKANBARU.COM-Himpunan mahasiswa Islam (HMI) memasuki fase pembenahan. Terhitung sejak 5 Februari 1947 sampai hari ini 5 Februari 2015 HMI telah menghabiskan 68 tahun dengan toleran prestasi yang cukup fantastis. Hal demikian bisa dikalkulasikan dari hasil mesin cetak HMI bernama perkaderan yang mampu memproduksi manusia-manusia berkualitas sebagai hasil dari proses panjang itu, sehingga pada hari ini jebolan-jebolan HMI mampu menjadi tulang punggung NKRI. Sederet prestasi mentereng yang diraih oleh kader-kader HMI mampu mengangkat kualitas HMI menjadi sebuah organisasi elit mahasiswa. Tentu banyak organisasi-organisasi kemahasiswaan bahkan kepemudaan lainnya yang ingin mengikuti jejak sejarah HMI. Melihat hal itu kita sebagai kader yang hari ini masih berproses boleh sedikit berbangga dengan nama besar Himpunan. Namun, kebangaan tersebut bukanlah menjadi mutlak bahwa HMI adalah organisasi terbaik. Cak nur memang mengatakan bahwa HMI adalah organisasi elit, dengan penjelasan bahwa HMI memiliki kualitas intelektual individu dan kolektif berada di atas rata-rata kemampuan kader organisasi mahasiswa dan kepemudaan secara umum. Namun, jika dilakukan peninjauan ulang dan penelitian terhadap kondisi HMI kekinian, kata-kata yang pernah diucapkan Cak Nur tersebut hanyalah seperti angin lalu. Pudarnya Kulitas Kader HMI menjadi popular atas kerja keras kadernya, namun begitupun sebaliknya HMI akan semakin meredup dengan tingkah laku dan kualitas kadernya. Seperti sebuah perusahaan, dia menjadi terkenal dan banyak diminati ketika hasil produksinya adalah barang-barang terbaik diantara sesamanya, namun jika kualitas barang yang di produksi perusahaan tersebut mengalami penurunan, dengan sendirinya kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan tersebut memudar dan berkurang, bahkan bisa habis dan perusahaan tersebut akan gulung tikar. Begitu juga dengan HMI, jika kader yang di produksi great kualitasnya turun maka kepercayaan dan integritas HMI dimata masyarakat juga akan memudar bahkan HMI pun dikalangan mahasiswa bukanlah barang mewah yang diidam-idamkan. Sehingga pada akhirnya akan terjadi krisis kader dan bisa mengakibatkan musnahnya HMI. Menurunya kualitas intlektual kader HMI bisa kita rasakan pada saat ini, bukan saja ditingkatan komisariat, namun hampir disetiap sektor kepengurusan HMI. Dimulai dari komisariat, Korkom, Cabang, Badko, bahkan hingga lembaga-lembaga kekaryaan seperti LDMI, LAPMI, LKBHMI dan lain sebagainya. Hal itu bisa dilihat dari tidak munculnya HMI sebagai organisasi pemuda yang kritis yang memiliki Ideologi yang kuat dalam menyikapi segala bentuk kebijakan pemerintahan. HMI bersikap jika ada kepentingan politik, idealisme kader HMI hilang ditelan oleh sikap pregmatisme yang selalu digosok oleh kemajuan zaman. Kader HMI siap bergerak dengan berbagai catatan untung rugi, dan kalkulasi materi, kader HMi bukanlah sebagai sentral issue, namun justru mengikuti issue dan mencari celah untuk menarik keuntungan. Itulah fakta yang terjadi pada hari ini, sementara HMI yang dulu adalah HMI yang bersikap berdasarkan hasil diskusi dan pengkajian yang matang, sehingga sikap yang dikeluarkan oleh HMI melalui kader HMI menjadi pencipta issue. Pudarnya kualitas kader juga tidak terlepas dari hilangnya budaya-budaya sederhana didalam HMI seperi jumpa muka, jumpa pikiran dan jiwa. Sehingga kader HMi tidak terbiasa dengan budaya-budaya intlektual. HMI Menjadi Barang Dagangan Perdagangan organisasi tengah marak dizaman modern saat ini. Itu terbukti sesuai dengan fakta dilapangan, bahwa jika ada suatu organisasi besar menyikapi suatu issue besar maka harga jual untuk menutup mulut organisasi tersebut juga besar. Hal ini juga tengah dialami oleh HMI dan Kadernya. Tidak ada yang salah dari HMI secara organisasi yang memiliki Independensi, namun keselahan tersebut muncul dari pengemban amanah didalam HMI itu sendiri, yaitu kadernya yang memegang jabatan strategis di HMI. Kurangnya kesadaran dan hilangnya sikap idealisme dari kader HMI membuat HMI secara organisasi terjerumus kedalam politik praktis yang digunakan untuk penetingan pengemban jabatan. Pada hari ini kita bisa melihat bagaimana bendera HMI dikibarkan dengan seruan perjuangan melawan korupsi namun diiringi dengan deal-deal jumlah rupiah dibelakngnya. Mungkin si pengemban amanah bisa beralasan bahwa itu adalah kebutuhan, namun meskipun begitu tentu hal tersebut harus lebih dulu dikaji secara matang dimana letak kesalahan dan keruagian apa yang didapat oleh rakyat, sehingga jika muncul kesadaran meskipun sudah melakukan deal tetap ada beban untuk menuntut keadilan atas nama rakyat. Elit politik HMI justru lebih ekstrim dalam deal, mungkin tidak ada aksi jalanan, tidak ada statmen politik di media massa, namun tidak mau bersikap atas kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat adalah pilihan yang nyaman untuk mencari rekan yang ingin menyepakati deal. Diam bukan tidak tahu, namun justru mencari siapa yang ingin menutupi mulut sebelum berteriak. Dan inilah fakta hari ini. Semua Dimulai Dari Kongres Kongres HMI ibarat sebuah kontestasi pemilihan pejabat tinggi Negara sekelas Gubernur dan bahkan Presiden. Butuh modal besar dan tenaga ekstra, sehingga semua kandidat terpaksa melakukan tindakan olah-olah untuk mencari siapa yang siap memodali dalam porses pencalonannya sebagai pemimpin tertinggi HMI. Siapa yang punya modal besar dia akan berkuasa itulah faktanya. Sehingga menajdi naif, seorang kandidat terpaksa berhutang untuk memodali proses dirinya berkuasa di HMI, sehingga pada akhirnya dia akan menjual HMI kemanapun jika berkuasa demi membayar hutang kongres yang sudah menumpuk. Cost politik yang tinggi adalah pendidikan yang buruk bagi kader HMI, artinya tidak adalah idealisme ditataran pengurus besar, bahkan itu sudah dimulai dari tataran pengurus Cabang.*** Oleh : Fazin Hisabi /kompasiana