SP3-SR KNPI Riau Temui Disbun Riau, Dorong Kejelasan Status Lahan Sawit dalam Kawasan Hutan
Pekanbaru, 13 Maret 2025 – Satuan Tugas Pemuda Peduli Penyelamat Sawit Riau (SP3-SR) KNPI Riau mendatangi Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Riau guna mendiskusikan permasalahan lahan sawit yang berada dalam kawasan hutan. Diskusi ini dilakukan dalam konteks penerapan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penerbitan Kawasan Hutan, yang mengatur tata kelola perkebunan sawit dalam kawasan hutan.
Ketua Satgas SP3-SR, Jamadi, SH, mengungkapkan bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmen) Nomor 36 Tahun 2025, terdapat 436 subjek hukum berupa perusahaan maupun kelompok yang telah mengajukan permohonan izin keterlanjuran usaha perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan di seluruh Indonesia.
“Di Provinsi Riau, terdapat 118 perusahaan dan kelompok yang telah mengajukan permohonan. Namun, banyak dari permohonan tersebut yang tidak dikabulkan, sehingga masih ada ratusan ribu hektare lahan sawit dalam kawasan hutan yang belum jelas status pengelolaannya. Inilah yang kami konsultasikan dengan Disbun Riau," ujar Jamadi.
Sebagai provinsi dengan luas perkebunan sawit terbesar di Indonesia, Riau memiliki luas perkebunan sawit sekitar 3,38 juta hektare. Namun, data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa sekitar 1,8 juta hektare lahan sawit di Riau berada dalam kawasan hutan.
Kondisi ini menimbulkan dilema bagi masyarakat, perusahaan, dan pemerintah daerah, terutama dalam aspek legalitas, ekonomi, dan lingkungan. Dengan adanya Perpres 5/2025, pemerintah ingin menata ulang izin penggunaan lahan sawit dalam kawasan hutan, baik melalui pembebasan kawasan, pemulihan fungsi hutan, atau pendistribusian lahan kepada masyarakat.
Dalam pertemuan tersebut, Sri Ambar, Kepala Bidang Pengembangan Usaha dan Penyuluhan Disbun Riau, menjelaskan bahwa lahan sawit yang izin keterlanjurannya ditolak akan dikembalikan terlebih dahulu ke fungsi awal kawasan hutan, baik sebagai hutan lindung, hutan konservasi, maupun hutan produksi.
"Setelah kawasan ini dikembalikan ke fungsinya, barulah dilakukan kajian lebih lanjut apakah lahan tersebut bisa dikelola oleh masyarakat atau harus tetap dalam pengawasan negara," ujar Sri Ambar.
Menurutnya, pemerintah berupaya menjaga keseimbangan antara konservasi lingkungan dan keberlanjutan ekonomi masyarakat, sehingga setiap kebijakan harus melalui kajian yang matang agar tidak menimbulkan konflik agraria atau degradasi lingkungan.
Ketua SP3-SR KNPI Riau, Nasarudin, SH, MH, menegaskan bahwa keputusan terkait status lahan sawit dalam kawasan hutan harus segera diputuskan agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang berkepanjangan.
"Kami berharap ribuan hektare lahan sawit yang ditolak izinnya ini tidak dibiarkan dalam ketidakjelasan. Jika memang harus dikembalikan ke hutan, maka harus ada langkah rehabilitasi yang jelas. Jika memungkinkan untuk dikelola oleh masyarakat, maka perlu ada skema distribusi yang adil," ujar Nasarudin.
Ia menambahkan bahwa ketidakpastian ini tidak hanya berdampak pada perusahaan, tetapi juga petani sawit rakyat yang menggantungkan hidupnya dari perkebunan. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta masyarakat agar kebijakan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Dengan luasnya lahan sawit di Riau yang masih berada dalam kawasan hutan, pertemuan SP3-SR dengan Disbun Riau menjadi langkah awal dalam mencari solusi yang berkeadilan bagi masyarakat dan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
SP3-SR berharap pemerintah segera mengambil keputusan konkret, baik dalam pemulihan fungsi hutan maupun pemberian izin pengelolaan kepada masyarakat, sehingga perkebunan sawit di Riau dapat berkembang secara legal, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan. (rls)