Halal dan Haram Tentang Musik

Rabu, 12 November 2014

Ilustrasi

RADARPEKANBARU.COM - Pada bagian lalu kita sudah membahas berbagai alasan Alquran dan As Sunnah pihak yang mengharamkan musik beserta komentar para ulama dari empat madzhab yang mengharamkan. Kali ini kita akan membahas alasan-alasan pihak yang membolehkan musik.

Bersama Para Ulama Yang Membolehkan

Berikut ini alasan-alasan pihak yang membolehkan:

    Dari Alquran

Pertama. Al-Baqarah ayat 29:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dialah Allah, yang menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (Al-Baqarah: 29)

Ayat ini menunjukkan bahwa seluruh yang ada di bumi ini Allah Taala ciptakan untuk manusia, adalah hal yang tidak relevan dan kontradiksi, jika Allah Taala menciptakan seluruh yang di muka bumi ini untuk manusia di satu sisi, tapi di sisi lain Dia haramkan kebanyakannya bagi manusia pula. Maha suci Allah dari hal yang seperti itu. Sehingga ayat ini menegaskan bahwa antara halal dan haram lebih banyak yang halal, antara suci dan najis lebih banyak yang suci. Bagi mereka, keindahan yang bisa dirasakan, dilihat, dan dinikmati, musik termasuk di dalamnya adalah hal-hal yang mubah yang mencakup kalimat : Dialah yang menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu..

Imam Asy-Syaukani Rahimahullah menjelaskan:

قال ابن كيسان: خلق لكم أي من أجلكم، وفيه دليل على أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل، ولا فرق بين الحيوانات وغيرها مما ينتفع به من غير ضرر

Berkata Ibnu Kaisan: menciptakan untuk kalian yaitu (Allah menciptakan, pen) karena kalian, dalam ayat ini terdapat dalil bahwa hukum asal segala sesuatu yang berupa makhluk ciptaan adalah boleh, sampai adanya dalil yang menunjukkan perubahan hukum asal ini. Tidak ada bedanya antara hewan dan selainnya, yang termasuk apa-apa yang bermanfaat dan tidak membawa kerusakan. (Fathul Qadir, 1/71-72)

Bagi mereka, tidak ada dalil yang secara tegas dan jelas mengharamkan musik, khususnya Alquran, ada pun dalam As-Sunnah ada beberapa hadits yang shahih tapi tidak sharih (jelas), ada yang sharih tapi tidak shahih. Sehingga Imam Ibnul 'Arabi Al-Maliki Rahimahullah mengatakan tak ada di dalam Alquran dan As-Sunnah tentang pengharaman lagu dan musik. (Ahkamul Quran, 3/1053)

Tidak ada yang diharamkan kecuali oleh nash yang shahih dan sharih (jelas-tegas) dalam kitab Allah Taala dan Sunah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Jika tidak ada dalam keduanya, tidak ada dalam ijma, atau yang ada hanya nash yang shahih tapi tidak sharih, atau sharih tapi tidak shahih, maka ia tetap dalam batas kemaafan Allah Taala yang luas dan lapang. Jika memang musik haram, tidak mungkin Allah Taala tidak menjelaskannya secara terang dalam kitabNya, dan mustahil pula Allah Taala lupa menerangkannya. Sebab Allah Taala sudah berfirman:

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُم

"Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu...(Al-An'am: 119)

Dan, kenyataannya menurut kelompok ini, kita tidak temukan satu pun ayat yang lugas tentang pengharamannya, maka tetaplah musik termasuk dalam kategori yang didiamkanNya dan dimaafkanNya. Jika begini keadaannya maka berlaku hukum asal (bara'atul ashliyah) bahwa segala sesuatu pada dasarnya adalah mubah. Para ulama menegaskan bahwa menetapkan keharaman membutuhkan kelugasan dan keshahihan dari nash tanpa keraguan dan syubhat. Ada pun dalam menetapkan kebolehan, sudah cukup dengan ketiadaan dalil pengharaman, dan bebas dari dharar (kerusakan), tanpa harus adanya kata-kata halal dan mubah. Ketiadaan dalil larangan atas sesuatu, sudah cukup kebolehan sesuatu itu.

Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam:

الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه

"Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan." (HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya: hadits gharib. Ibnu Majah No. 3367, Ath-Thabarani dalam Al-Mu'jam Al-Kabir No. 6124. Syaikh Al-Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1726. Juga dihasankan oleh Syaikh Baari Irfan Taufiq dalam Shahih Kunuz As-sunnah An Nabawiyah, Bab Al-Halal wal Haram wal Manhi Anhu, No. 1)

Oleh karena itu, Imam Al-Fakihani Rahimahullah mengatakan sebagaimana dikutip oleh Imam Asy-Syaukani:

لَمْ أَعْلَمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَلَا فِي السُّنَّةِ حَدِيثًا صَحِيحًا صَرِيحًا فِي تَحْرِيمِ الْمَلَاهِي

Tidak aku ketahui dalam Kitabullah dan Sunnah hadits yang shahih dan lugas tentang pengharaman musik. (Nailul Authar, 8/117)

Kedua. Surat Al-A'raf ayat 147

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ

 Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka. (Al-A'raf: 157)

Ayat ini menunjukkan bahwa syariat menghalalkan segala hal yang baik. Ath-Thayyibat (segala yang baik) adalah meliputi segala hal yang baik, tidak dibatasi, dan Ath-Thayyibat menurut mayoritas biasanya identik dengan hal-hal yang bisa dinikmati, thahir (suci) dan halal.

Imam Asy-Syaukani mengatakan, makna Ath-Thayyibat adalah المستلذات Al-Mustalladzdzaat (hal-hal yang bisa dinikmati). (Fathul Qadir, 2/287). Al-Qadhi Abu Muhammad Rahimahullah juga mengatakan Ath-Thayyibat adalah hal-hal yang bisa dinikmati. (Tafsir Ibnu Athiyah, 2/228). Imam Abul Qasim Al-Kalbi mengatakan bahwa dalam madzhab Imam Syafi’i, Ath-Thayyibat adalah Al-Mustalladzdzaat.(At Tas-hil Li Ulumit Tanzil, 1/309)

Imam Ar Radzi Rahimahullah menjelaskan tentang ayat-ayat semisal ini:

ونص في هذه الآيات الكثيرة على إباحة المستلذات والطيبات فصار هذا أصلا كبيرا

Nash pada ayat-ayat yang banyak ini menunjukkan kebolehan hal-hal yang bisa dinikmati dan baik-baik, dan ini menjadi hal pokok yang besar. (Mafatih Al-Ghaib, 11/290)

Nah, bagi mereka, musik termasuk hal-hal yang bisa dinikmati, sehingga dia termasuk keumuman makna Ath-Thayyibat yang Allah Taala halalkan. Sebagaimana ayat:

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ

Mereka bertanya kepadamu: 'Apa sajakah yang dihalalkan bagi mereka?' Katakanlah, "Dihalalkan bagimu yang baik-baik (Ath Thayyibat)." (Al-Maidah: 4)

Justru Allah Taala mengecam sikap melampaui batas, yaitu mengharamkan Ath-Thayyibat, sebagaimana firmanNya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Al-Maidah: 87)

Ketiga. Al-Jumu'ah Ayat 11

وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan (lahwun), mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki. (Al-Jumu'ah: 11)

Sebab turunnya ayat ini, adalah sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam At Tirmidzi, Imam Ahmad dan lainnya dengan riwayat yang saling melengkapi bahwa ketika datangnya kafilah dagang yang telah ditunggu-tunggu oleh orang-orang Islam (saat itu sedang mendengarkan nabi khutbah), mereka tiba dengan membawa barang-barang dagangan, maka serta merta kaum muslimin menyambutnya dengan nyanyian dan tabuh-tabuhan, sebagai ungkapan rasa senang atas kedatangan kafilah tersebut dengan selamat, juga sebagai ungkapan harapan mereka agar barang dagangannya bisa menghasilkan dan keuntungan yang banyak.

Karena itu, mereka berebut mengambil dagangan, sehingga Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang sedang khutbah mereka tinggalkan, dalam riwayat lain disebutkan sampai-sampai yang tersisa dari jamah shalat jumat hanya dua belas orang saja.

Lihatlah ayat tersebut, Allah Taala menyebut permainan dan perniagaan dalam satu susunan kalimat, lalu kenapa hanya nyanyian saja yang diharamkan, sedang perniagaan tidak? Padahal keduanya saat itu telah memalingkan mereka dari shalat jumat. Jadi, sebenarnya yang diharamkan bukanlah permainan dan perniagaannya secara zat atau perbuatan, melainkan jika sudah membawa efek 'melalaikannya' itu, dan tentunya tidak semua orang seperti itu, dengan kata lain tergantung orangnya masing-masing. Dalam kisah di atas pun tidak semua sahabat nabi berpaling, masih ada dua belas orang yang mendengarkan khutbah nabi. Maka, kenyataan ini jelas bahwa masing-masing orang berbeda keadaannya; ada yang bisa melalaikan ada pula yang tidak.

Kemudian, bagian ayat pada surat Jumu’ah di atas, yang berbunyi: Katakanlah, "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan" merupakan kalimat yang berfungsi optional (pilihan) dan pembanding, tidak ada kaitannya dengan pengharaman atas permainan (lahwun) dan perdagangan. Ayat itu menegaskan bahwa pada sisi Allah Taala yakni menunaikan shalat jumat adalah lebih baik dari pada permainan dan perdagangan.

Keempat. Surat Muhammad ayat 36

إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلَا يَسْأَلْكُمْ أَمْوَالَكُمْ.

"Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala keppadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu." (Muhammad: 36)

Juga ayat lainnya:

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ

Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, (Al-Hadid: 20)

Bagi pihak yang membolehkan, ayat ini merupakan dalil kebolehan musik. Pihak yang mengharamkan menganggap musik adalah sesuatu yang melalaikan, sebagaimana permainan lainnya. Namun ayat ini menyanggah pemahaman tersebut, sesungguhnya tidaklah suatu permainan dan senda gurau itu lantas secara otomatis menjadi sesuatu yang haram. Sebab, jika memang musik haram karena dia permainan yang melalaikan, maka bukan hanya musik, melainkan dunia seluruh dan isinya juga haram, sebab dunia adalah permainan dan senda gurau yang melalaikan. Oleh karena itu, bagi kelompok yang membolehkan, musik tidak bisa dipukul rata haram atau mubah, dia bisa haram atau mubah tergantung keadaannya.

Kelima. Surat Luqman ayat 6

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan." (Luqman: 6)

Sebagaimana penjelasan yang telah lalu, ayat ini khususnya kalimat lahwul hadits (perkataan tak berguna) ditafsirkan oleh para sahabat seperti Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdillah, Ikrimah, dan sebagainya adalah nyanyian. Sementara dalam Tafsir As-Samani mengutip dari kitab Al-Akhbar Al-Musnadah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri yang menjelaskan bahwa itu adalah alat musik dan wanita penyanyi (Lihat Tafsir As-Sam'ani, 4/226), tetapi riwayat ini tidak memiliki sanad sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan keautentikannya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan tidak bisa dijadikan hujjah.

Perlu diketahui, tafsiran bahwa lahwul hadits adalah lagu, musik, bukanlah satu-satunya tafsiran yang bersifat final. Imam Asy-Syaukany, dalam Fathul Qadir-nya mengatakan bahwa maksud lahwul hadits adalah apa-apa yang bisa melalaikan dari kebaikan, bisa berupa nyanyian, pemainan, perkataan dusta, dan segala yang munkar. Ia meriwayatkan bahwa Imam Hasan Al-Bashri menafsiri makna lahwul hadits adalah ma'azif (alat-alat musik) dan ghina' (nyanyian), tetapi juga diriwayatkan darinya, bahwa maksud lahwul hadits adalah kufr (kekafiran) dan syirk (kesyirikan).

Kalimat, "Liyudhilla (untuk menyesatkan (manusia)" menunjukkan bahwa huruf lam pada kata li yudhilla berfungsi sebagai lam ta’lil (lam yang menunjukkan sebab illat hukum). Demikian dalam Fathul Qadir.

Jadi, sebenarnya, perilaku apa saja  bukan hanya nyanyian dan musik jika bertujuan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah Taala, jelas perbuatan adalah haram. Mafhum mukhalafah (pemahaman implisit)nya adalah jika tidak ada maksud menyesatkan manusia, maka tidak mengapa.

Imam Ibnu Jarir at Thabari menegaskan dalam tafsirnya, dari Ibnu Wahhab, bahwa Ibnu Zaid mengatakan ayat "Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkatan yang tidak berguna " maksudnya adalah orang-orang kafir. Tidakkah memperhatikan bunyi ayat selanjutnya:

"Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami Dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah Dia belum mendengarnya, seakan- akan ada sumbat di kedua telinganya; Maka beri kabar gembiralah Dia dengan azab yang pedih." (Luqman: 7)

Manusia yang diceritakan dalam ayat ini, jelas bukan berkepribadian muslim dan bukan seorang muslim. Memang, sebagian ada yang membantah itu, menurut mereka ini juga berlaku untuk orang Islam. Dan lahwul hadits merupakan perkataan batil (sia-sia) yang mereka gunakan untuk kelalaian. (Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami'ul Bayan, 1/41, tafsir surat Luqman)

Imam Ibnul Athiyah Rahimahullah menyebutkan:

والذي يترجح أن الآية نزلت في لهو حديث منضاف إلى كفر فلذلك اشتدت ألفاظ الآية بقوله: لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَها هُزُواً، والتوعد بالعذاب المهين

Pendapat yang rajih (kuat) adalah bahwa ayat tersebut diturunkan tentang orang-orang kafir, oleh karena itu ungkapan ayat tersebut sangat keras yaitu "untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan." Dan disertai ancaman siksaan yang amat hina. (Imam Ibnu Athiyah, Al-Muharrar Al-Wajiz, 4/346)

Pemahaman ini juga dikuatkan oleh Imam Fakhruddin Ar Razi Rahimahullah dalam tafsir Mafatihul Ghaib:

بَيَّنَ مِنْ حَالِ الْكُفَّارِ أَنَّهُمْ يَتْرُكُونَ ذَلِكَ وَيَشْتَغِلُونَ بِغَيْرِه

Bahwa Allah Taala sedang menceritakan keadaan orang-orang kafir, mereka meninggalkan Alquran dan sibuk dengan selainnya. (Mafatihul Ghaib, 25/115)

Imam Ibnu Hazm telah menyanggah tafsiran bahwa lahwul hadits adalah lagu, dan sanggahan ini sangat masyhur dan sering diulang-ulang oleh kelompok yang membolehkan lagu dan musik. Bantahan ini sebenarnya telah diketahui dan sudah dikoreksi pula oleh para ulama yang mengharamkannya, tetapi nampaknya pandangan Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm Rahimahullah sangat kokoh sehingga bantahan-bantahan untuknya masih bisa didiskusikan lagi.

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah menolak tafsiran Lahwul Hadits adalah nyanyian dan musik, dengan perkataannya dan ini merupakan sanggahan yang sangat bagus darinya:

لَا حُجَّةَ فِي هَذَا كُلِّهِ لِوُجُوهٍ أَحَدُهَا : أَنَّهُ لَا حُجَّةَ لِأَحَدٍ دُونَ رَسُولِ اللَّهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ خَالَفَ غَيْرَهُمْ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ

وَالثَّالِثُ: أَنَّ نَصَّ الْآيَةِ يُبْطِلُ احْتِجَاجَهُمْ بِهَا؛ لِأَنَّ فِيهَا {وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ} [لقمان: 6] وَهَذِهِ صِفَةٌ مَنْ فَعَلَهَا كَانَ كَافِرًا، بِلَا خِلَافٍ، إذَا اتَّخَذَ سَبِيلَ اللَّهِ  تَعَالَى هُزُوًا

وَلَوْ أَنَّ امْرَأً اشْتَرَى مُصْحَفًا لِيُضِلَّ بِهِ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَتَّخِذُهَا هُزُوًا لَكَانَ كَافِرًا، فَهَذَا هُوَ الَّذِي ذَمَّ اللَّهُ تَعَالَى  وَمَا ذَمَّ قَطّ عَزَّ وَجَلّ  مَنْ اشْتَرَى لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيَلْتَهِيَ بِهِ وَيُرَوِّحَ نَفْسَهُ، لَا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ  تَعَالَى  فَبَطَلَ تَعَلُّقُهُمْ بِقَوْلِ كُلِّ مَنْ ذَكَرْنَا

وَكَذَلِكَ مَنْ اشْتَغَلَ عَامِدًا عَنْ الصَّلَاةِ بِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، أَوْ بِقِرَاءَةِ السُّنَنِ، أَوْ بِحَدِيثٍ يَتَحَدَّثُ بِهِ,، أَوْ يَنْظُرُ فِي مَالِهِ، أَوْ بِغِنَاءٍ، أَوْ بِغَيْرِ ذَلِكَ، فَهُوَ فَاسِقٌ، عَاصٍ لِلَّه تَعَالَى  وَمَنْ لَمْ يُضَيِّعْ شَيْئًا مِنْ الْفَرَائِضِ اشْتِغَالًا بِمَا ذَكَرْنَا فَهُوَ مُحْسِنٌ

Semua perkataan mereka tidak bisa dijadikan hujjah, karena beberapa alasan:

Pertama, Perkataan seseorang tidak bisa dijadikan hujjah kecuali perkataan Rasulullah.

Keduan, Para sahabat dan tabi’in sendiri berbeda pendapat tentang tafsir ayat tersebut.

Ketiga, nash ayat tersebut (Luqman ayat 6) justru membatalkan argumentasi mereka sendiri, karena dalam ayat tersebut berbunyi, "Dan diantara manusia ada orang yang menggunakan perkataan yang tidak berguna (lahwul hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan, " ini menunjukkan bahwa yang melakukan perbuatan ini adalah kafir, jika menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan, hal ini tanpa perselisihan lagi adalah kekafiran. Seandainya ada seseorang membeli mushaf Alquran dengan tujuan menyesatkan manusia dari jalan Allah dan mengolok-oloknya, maka orang tersebut kafir." Inilah yang dicela Allah.

Allah Taala tidak pernah mencela sedikitpun terhadap orang yang menggunakan perkataan sia-sia untuk tujuan sekedar hiburan atau menenangkan diri, bukan bertujuan menyesatkan manusia dari jalan Allah. Maka terbantahlah argumen mereka dengan ucapan mereka sendiri seperti yang telah kami sampaikan.

Demikian pula jika seseorang yang sengaja membaca Alquran atau hadits, atau obrolan, atau lagu, atau lainnya, sehingga melalaikan shalat, itu termasuk kefasikan dan durhaka kepada Allah. Tetapi siapa yang tidak melalaikan atau meninggalkan kewajiban sebagaimana yang kami katakan, maka itu tetap kebaikan." (Imam Ibnu Hazm, Al-Muhalla, 7/567)

Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali Rahimahullah juga ikut memberikan sanggahan, katanya:

وأما شراء لهو الحديث بالدين استبدالاً به ليضل به عن سبيل الله فهو حرام مذموم وليس النزاع فيه وليس كل غناء بدلاً عن الدين مشترى به ومضلاً عن سبيل الله تعالى وهو المراد في الآية ولو قرأ القرآن ليضل به عن سبيل الله لكان حراماً

حكى عن بعض المنافقين أنه كان يؤم الناس ولا يقرأ إلا سورة عبس لما فيها من العتاب مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فهم عمر بقتله ورأى فعله حراما لما فيه من الإضلال فالإضلال بالشعر والغناء أولى بالتحريم

"Adapun makna ‘menggunakan perkataan tak berguna untuk agama, artinya merubah hukum agama dan menyesatkan manusia dari jalan Allah, jelas hukumnya haram dan tercela, tak ada perselisihan tentang itu. Tidak semua nyanyian mengganti agama dan menyesatkan dari jalan Allah, inilah yang dimaksud ayat tersebut. Seandainya membaca Alquran untuk menyesatkan dari jalan Allah, maka jelas haram.

Hal ini diperkuat tentang perilaku sebagian orang munafik ketika menjadi Imam Shalat secara sengaja selalu membaca surat Abasa karena didalamnya terdapat celaan terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka Umar Radhiallahu Anhu hendak membunuhnya (si munafik itu, pen), karena menilai perbuatan mereka itu haram dan menyesatkan. Apalagi jika menyesatkannya dengan menggunakan syair dan lagu, itu lebih utama diharamkan. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, 2/284-285)

Kesimpulannya, menurut para ulama ini, ayat ini tidak bisa dijadikan hujjah pengharaman musik dan lagu yang baik-baik, dan sekedar untuk mengistirahatkan jiwa, sebab ayat ini menunjukkan tujuan yang tercela yaitu menyesatkan manusia dari jalan Allah Taala, yang biasanya dilakukan oleh orang kafir, fasiq, dan musuh-musuh agama. Sedangkan orang yang mendengarkan hiburan sekedarnya saja, tidaklah seperti itu tujuannya. Sebagaimana dikatakan Imam Ibnu ‘Abidin Rahimahullah, bahwa halal dan haramnya musik tergantung maksud dan tujuan orangnya.

Imam Ibnu Abidin Rahimahullah menjelaskan:

آلة اللهو ليست محرمة لعينها بل لقصد اللهو منها، إما من سامعها أو من المشتغل بها، ألا ترى أن ضرب تلك الآلة حل تارة وحرم أخرى باختلاف النية؟ والأمور بمقاصدها

"Alat-alat permainan itu bukanlah haram semata-mata permainannya, tetapi jika karenanya terjadi kelalaian baik bagi pendengar atau orang yang memainkannya, bukankah anda sendiri menyaksikan bahwa memukul alat-alat tersebut kadang dihalalkan dan kadang diharamkan pada keadaan lain karena perbedaan niatnya? Sesungguhnya menilai perkara-perkara itu tergantung maksud-maksudnya." (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 38/169)

Keenam. Ayat-ayat Alquran yang secara umum menceritakan tentang keindahan, keserasian, dan keteraturan penciptaan-Nya.

Kelompok ini juga berhujjah dengan ayat-ayat Alquran yang menceritakan ciptaan Allah Taala yang rapi, seimbang, dan penuh keindahan serta sedap dipandang mata. Serasi bentuk, ukuran, dan warna. Semua ini menunjukkan bahwa keindahan, baik itu alamiah atau buatan (seperti musik), adalah termasuk koridor ini, sebagai sesuatu yang memang bisa dinikmati sebagai objek tafakur dan menghibur diri semata.

Di antaranya adalah ayat-ayat berikut:

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ

"Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Lihatlah sekali lagi, apakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?" (Al-Mulk: 3)

Ayat lain:

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

"Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya." (Al-Furqan: 2)

Ayat lain:

ولَقَدْ جَعَلْنا فِي السَّماءِ بُرُوجاً وَ زَيَّنَّاها لِلنَّاظِرينَ

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang di langit dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang(nya). (Al-Hijr: 16)

Ayat lain:

وَ الْأَرْضَ مَدَدْناها وَ أَلْقَيْنا فيها رَواسِيَ وَ أَنْبَتْنا فيها مِنْ كُلِّ شَيْ‏ءٍ مَوْزُونٍ

"Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung, serta Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran." (Al-Hijr: 19)

Dan masih banyak ayat-ayat lain yang sejenis.

Bagi kelompok yang membolehkan, sesungguhnya keserasian, keseimbangan, dan keindahan yang Allah Taala ciptakan pada alam ini, baik pada bentuk, ukuran, warna, suara, yang Allah Taala ciptakan pada gunung, bukit, sawah, gurun, kebun, sungai, lautan, hewan, gemericikan air, kicauan burung di pagi hari, adalah hal yang diberikanNya untuk manusia. Tak beda antara yang alami atau buatan, sebab prinsipnya sama, sama-sama keindahan. Ada pun jika sudah sampai melalaikan dari mengingatNya, maka masing-masing pribadi berbeda keadaannya. Pada kenyataannya, justru ada yang setelah tafakur semakin shalih dan bertobat dari kesalahan setelah merenungi kebesaranNya melalui keindahan ciptaanNya.

Oleh karena itu Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan:

وَمَنْ نَوَى بِهِ تَرْوِيحَ نَفْسِهِ لِيَقْوَى بِذَلِكَ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ  عَزَّ وَجَلَّ  وَيُنَشِّطَ نَفْسَهُ بِذَلِكَ عَلَى الْبِرِّ فَهُوَ مُطِيعٌ مُحْسِنٌ، وَفِعْلُهُ هَذَا مِنْ الْحَقِّ، وَمَنْ لَمْ يَنْوِ طَاعَةً وَلَا مَعْصِيَةً، فَهُوَ لَغْوٌ مَعْفُوٌّ عَنْهُ كَخُرُوجِ الْإِنْسَانِ إلَى بُسْتَانِهِ مُتَنَزِّهًا، وَقُعُودِهِ عَلَى بَابِ دَارِهِ مُتَفَرِّجًا وَصِبَاغِهِ ثَوْبَهُ لَازَوَرْدِيًّا أَوْ أَخْضَرَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ

Dan, barang siapa dengan hiburan bertujuan untuk mengistirahatkan jiwa dalam rangka melahirkan kekuatan untuk ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, yang dengan itu dirinya bisa giat dalam kebaikan, maka dia termasuk orang taat dan baik. Perbuatan ini termasuk kebenaran. Jika dia tidak memaksudkannya sebagai ketaatan, tidak pula untuk maksiat, maka itu adalah kelalaian yang dimaafkan seperti seseorang yang keluar rumahnya menuju kebunnya sekedar untuk piknik, duduknya seseorang di depan pintu rumahnya untuk santai-santai, seseorang yang mencelup pakaiannya bukan dengan lapisan besi atau dengan hijau atau selain itu. (Al-Muhalla, 7/567)

Demikianlah dalil-dalil global dari Alquran tentang kebolehan musik. Bagi mereka dalil-dalil keharaman musik dari Alquran tidak satu pun yang jelas dan tegas, hanya berdasarkan tafsir semata, itu pun masih dilemahkan lagi oleh fakta bahwa masing-masing ahli tafsir juga berbeda pendapat yang cukup banyak. Sedangkan dalam masalah "pengharaman" tidak boleh berdasarkan pijakan yang abu-abu dan tidak konsisten, melainkan harus tegas dan jelas.

    Dari As-Sunnah

Hadits pertama:

وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ: حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ الكِلاَبِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ الأَشْعَرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ أَوْ أَبُو مَالِكٍ الْأَشْعَرِيُّ، وَاللَّهِ مَا كَذَبَنِي: سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ, “ لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ وَالحَرِيرَ، وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ

Berkata Hisyam bin Ammar, berkata kepada kami Shadaqah bin Khalid, berkata kepada kami Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, berkata kepada kami Athiyah bin Qais Al-Kilabi, berkata kepada kami Abdurrahman bin Ghanam Al-Asy’ari, dia berkata: berkata kepadaku Amir atau Abu Malik Al-Asyari, Demi Allah tidaklah dia membohongi aku: dia mendengar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

Di antara umatku akan ada suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat musik. (HR. Bukhari No. 5590)

Menurut pihak yang membolehkan, hadits ini tidak bisa dijadikan dalil haramnya musik di tiga sisi.

Pertama. Pada keshahihannya. Mereka mengira hadits ini munqathi' (terputus) sanadnya, sehingga dia dhaif. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Hazm, dan orang-orang yang sepakat dengannya seperti Syaikh Al-Qaradhawi.

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan:

وَهَذَا مُنْقَطِعٌ لَمْ يَتَّصِلْ مَا بَيْنَ الْبُخَارِيِّ وَصَدَقَةَ بْنِ خَالِدٍ  وَلَا يَصِحُّ فِي هَذَا الْبَابِ شَيْءٌ أَبَدًا، وَكُلُّ مَا فِيهِ فَمَوْضُوعٌ، وَوَاللَّهِ لَوْ أُسْنِدَ جَمِيعُهُ أَوْ وَاحِدٌ مِنْهُ فَأَكْثَرَ مِنْ طَرِيقِ الثِّقَاتِ إلَى رَسُولِ اللَّهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  لَمَا تَرَدَّدْنَا فِي الْأَخْذِ بِهِ

Hadits ini mu