Hikmah Puasa Syawal

Selasa, 17 Mei 2022

ilustrasi internet

RADARPEKANBARU - Di antara warisan Ramadhan adalah melestarikan amalan puasa. Syawal sebagai bulan yang disunahkan puasa enam hari di dalamnya bagian dari melanjutkan tradisi amalan puasa yang dimaksud. Tentu saja puasa sunah Syawal ini memiliki hikmah yang membuat para wisuda madrasah Ramadhan tidak akan melewatkannya.

Pertama, puasa Syawal bernilai puasa setahun. Rasulullah SAW memberikan kabar gembira ini melalui sabdanya dari sahabat Abu Ayyub Al Anshari, “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari pada bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh” (HR Muslim). Bayangkan, hanya dengan puasa enam hari lantas nilainya menjadi puasa setahun. Secara matematis, ternyata hitungan ini bisa dibuktikan.

Dalam kitab Syarah Riyadhushsholihin dijelaskan, orang yang melakukan satu kebaikan akan mendapatkan sepuluh kebaikan yang semisal. Puasa Ramadhan selama sebulan berarti akan semisal dengan puasa 10 bulan. Puasa Syawal enam hari akan semisal dengan 60 hari, sama dengan dua bulan. Karena itu, seorang yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa pula enam hari pada bulan Syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh.

Kedua, puasa Syawal layaknya puasa Rawatib yang menyempurnakan puasa Ramadhan. Puasa Sya’ban dan puasa Syawal menjadi puasa Rawatib (mengiringi puasa fardhu) yang dilakukan sebelum dan sesudah puasa Ramadhan.

Sebagaimana shalat Rawatib dapat menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada shalat fardhu, begitu pula dengan puasa yang mengiringi puasa wajib. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya dalam ibadah puasa kebanyakan manusia memiliki kekurangan dalam beberapa segi. Amalan-amalan sunah pun diperlukan demi menyempurnakan kekurangan tersebut.”

Ketiga, puasa Syawal sebagai indikasi diterimanya puasa Ramadhan. Melanjutkan puasa sunah bulan Syawal pertanda bahwa puasa Ramadhan seseorang telah diterima Allah SWT. Karena jika Allah menerima amal seorang hamba, Dia akan memberikan taufik kepada hamba tersebut untuk melakukan amal saleh yang lain setelahnya.

Keempat, puasa Syawal merupakan bentuk kesyukuran. Salah satu nikmat yang patut disyukuri adalah nikmat ampunan dosa pada bulan Ramadhan. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak ada nikmat yang lebih besar dari pengampunan dosa yang Allah anugerahkan.” Kelima, puasa Syawal sebagai bentuk melanggengkan ibadah. Dengan berakhirnya Ramadhan bukan berarti berhenti beramal. Spirit Ramadhan mesti tetap terjaga, bahkan harus ditingkatkan. Apalagi, Syawal secara etimologi berarti Irtifa’, yakni bulan peningkatan.

Jangan sampai kita termasuk kategori generasi Ramadhani, yakni orang yang hanya taat pada bulan Ramadan, tapi kumat kebiasaan maksiat begitu keluar dari bulan suci ini. Sebaliknya, generasi Rabbani yang kita harapkan, yakni orang yang senantiasa beramal saleh sepanjang hayatnya. Akhirnya, seluruh amal ibadah kita selama bulan Ramadhan semoga Allah menerimanya dan kita semua dipertemukan kembali pada Ramadhan berikutnya. Amin. (rep)