Putin Setujui UU Kekebalan Hukum bagi Mantan Presiden Rusia

Rabu, 23 Desember 2020

RUSIA -- Presiden Rusia Vladamir Putin, menyetujui rancangan undang-undang yang memberikan kekebalan hukum seumur hidup bagi mantan presiden.

Dilansir AFP, Rabu (23/12), beleid itu diunggah secara daring pada Selasa (22/12) kemarin, setelah diteken oleh Putin. Menurut undang-undang itu, mantan presiden dan seluruh keluarganya diberikan kekebalan hukum dari proses penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan semasa mereka hidup.

Undang-undang itu juga menyatakan melarang polisi atau jaksa menangkap, menginterogasi serta menggeledah kediaman mantan presiden jika yang bersangkutan diduga terlibat pelanggaran hukum.

Beleid yang ditandatangani Putin itu adalah bagian dari perubahan (amandemen) undang-undang dasar yang disepakati oleh penduduk Rusia melalui jajak pendapat pada musim panas lalu. Mereka juga menyetujui supaya Putin, yang saat ini berusia 68 tahun, bisa menjabat sebagai presiden sampai 2036.

 

Sebelum UU itu disahkan, mantan presiden Rusia hanya diberikan kekebalan hukum jika dia melakukan pelanggaran selama masa jabatannya.

Akan tetapi, kekebalan hukum yang saat ini diterapkan masih bisa dicabut jika sang mantan presiden terbukti berkhianat atau melakukan kejahatan berat, serta divonis bersalah oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Di sisi lain, UU itu juga mengizinkan para mantan presiden itu menjadi anggota dewan atau senat seumur hidup. Selama mereka masih hidup dan menjabat di posisi itu, maka mereka memang diberikan hak kekebalan hukum.

Putin seharusnya menyetujui RUU itu pada November lalu. Penundaan itu memicu spekulasi bahwa dia berencana mengundurkan diri akibat kondisi kesehatannya. Namun, pemerintah membantah rumor kondisi kesehatan Putin menurun.

Pada Selasa kemarin, majelis rendah (Duma) di parlemen Rusia menyetujui RUU yang merahasiakan identitas aparat penegak hukum dan militer. Draf itu tinggal menuju persetujuan Putin, yang dianggap hanya formalitas belaka.

Pengajuan RUU itu dilakukan hanya beberapa hari setelah tokoh oposisi Alexei Navalny mengklaim berhasil memperdaya seseorang yang diduga agen badan intelijen Rusia (FSB). Menurut Navalny, orang itu akhirnya mengakui hendak membunuhnya pada Agustus lalu dengan racun.(cnn)