Ulama dan Jalan Terjal Keulamaan

Selasa, 08 Desember 2020

ilustrasi ulama

RADARPEKANBARU.COM - Inilah jalan terjal ulama, mereka memilih jalan ketakwaan, tentu konsekuensinya tak ringan, selalu ada pahit getir dalam hidup yang mesti dirasakan. Demikian memang sunah yang ditetapkan oleh Sang Khalik untuk hamba-hamba pilihan-Nya. Dalam bahasa sang pujangga, al-Mutanabbi, tanpa impitan, deraan, dan cobaan, hidup berasa tak bermakna.
 


Hidup memang tak akan lepas dari ujian dan cobaan. Ketika duka mengiringi sukacita, justru di sanalah terjadi keseimbangan, hukum alam yang tak terhindarkan. Surah al-Ankabut ayat 2-3 menyebutkan, cobaan tersebut adalah konsekuensi yang lazim dihadapi seseorang usah mengikrarkan keimanan mereka. Ini dilakukan untuk mendeteksi manakah keimanan dengan kadar dan kualitas, terbaik dan yang tumpul.
 


"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman", sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan, sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta."
 


Dalam hadis riwayat nukilan al-Haitsami, para nabi adalah golongan dengan tingkat ujian yang paling tinggi, menyusul berikutnya adalah ulama, umara, dan baru kalangan awam. Lembaran demi lembaran sejarah peradaban Islam menyaksikan kegegaran ulama menghadapi cobaaan-cobaan tersebut.
 


Karakter dan bentuk ujian yang dihadapi bermacam-macam, tetapi beberapa di antaranya bermuara pada perbedaan afiliasi politik, infiltrasi mazhab, dan sikap atau fatwa ulama yang kerap berseberangan dengan pandangan rezim. Dalam konteks ini, seorang alim diposisikan sebagai objek sekaligus target lantaran otoritas yang mereka miliki berupa pengetahuan agama dan pengikut atau murid yang militan. Dua hal ini kerap dibaca sebagai hantu yang menakutkan bagi rezim-rezim yang berkuasa kala itu. Dan, saya rasa modal sosial ini masih bertahan dan melekat hingga saat ini.
 


Apa yang menimpa imam empat mazhab adalah varian dari sikap represif terhadap entitas ulama. Bagaimana, misalnya, Abu Hanifah dipenjara lantaran penolakannya menjadi qadhi pada masa Dinasti Abbasiyah, Imam Syafi'i yang dimusuhi oleh penguasa akibat kecintaannya terhadap Ahlul Bait, atau belum lagi kisah siksaan yang dialami Imam Ahmad setelah menolak mengakui pemaksaan doktrin Khalifah al-Makmun yang bermazhab Mu'tazilah, perihal Alquran makhluk Allah SWT.
 


Sebagian besar sikap represif itu justru didominasi oleh rezim-rezim Muslim, hanya sebagian kecil yang dilakukan oleh non-Muslim. Meski, dari karakter perlakuan tak ada perbedaan antara keduanya, sama-sama menekankan kekerasan dan intimidasi.
 


Literatur sejarah mendokumentasikan secara apik fenomena tersebut. Sebut saja Ibnu Sa'ad dalam at-Thabaqat al-Kubra, al-Baghdadi lewat karyanya Tarikh Baghdad, dan Abu Na'im al-Ashfahani dalam Hilyat al-Auliya', serta Ibnu Katsir dalam Bidayah wa an-Nihayahnya, juga memaparkan beberapa fakta mihnah alias cobaan yang pernah dihadapi oleh sejumlah ulama. Imam ad-Dzahabi menuliskan beberapa di antaranya dalam kitabnya Siyar A'lam an-Nubala'.
 


Tak hanya referensi sejarah, ternyata catatan tentang mihnah tersebut juga bisa kita temukan dalam karya-karya sastra klasik. Al-Baihaqi menulis al-Mahasin wa al-Masawi'yang ditulis pada awal abad ke-10 M dan al-Jahizh mengulas sedikit tentang masa lalu kelam cobaan terhadap ulama dalam kitab yang diklaim sebagai karyanya, yaitu al-Adhdad. Sementara, pada abad ke-12, kita dapati risalah al-Buhturi berjudul Uns al-Masjun wa Rahat al-Mahzun yang mengulas pengalaman-pengalaman pentolan ulama di balik jeruji besi.
 


Catatan tentang ketegaran ulama penting sebagai bahan refleksi umat sekarang. Dalam pandangan Imam Abu Bakar Muhammad bin al-Husain bin Abdullah al-Ajurri dalam kitabnya yang berjudul Akhlaq al-Ulama', sisi terpenting yang lazim dimiliki ulama, yaitu aspek moralitas. Dengan aspek inilah, terlihat jelas perbedaan antara alim dan orang awam.
 


Ulama bukan sekadar mereka yang mampu menguasai ilmu syariat dengan berbagai variannya. Tetapi, lebih dari itu, kriteria ulama adalah figur yang bisa menjadi rujukan bagi pelbagai soalan umat. Beragam persoalan yang harus dijawab ulama tidak terbatas pada problematika hukum agama, tetapi tak kalah penting menyangkut pada etika yang penting diteladankan oleh ulama. Sisi moralitas inilah yang bisa menempatkan ulama sebagai panutan yang layak diteladani.
 


Tanpa itu, ulama tak ubahnya termasuk dalam kategori manusia biasa lainnya. Sedangkan, inti dari moralitas seorang ulama adalah frekuensi dan tingkat ketakwaannya terhadap Allah. Konsistensi dan komitmennya melaksanakan tiap perintah dan menjauhi larangan diletakkan sebagai barometer derajat yang dimiliki. Ulama tak akan tergiur dengan nafsu duniawi. Fokus yang ada di hadapannya tak lain ialah rasa takut yang mendalam kepada Allah. (QS Faathir [35]: 27).(rep)