Sunat untuk Anak Perempuan, Bagaimana Hukumnya?

Kamis, 01 Agustus 2019

RADARPEKANBARU.COM -- Sunat bagi perempuan masih menjadi fenomena di tengah masyarakat kini. Dalam perspektif Islam, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait hukum sunat atau khitan bagi kaum hawa. Ahli fikih yang juga direktur Rumah Fiqih Indonesia (RFI) Ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan, ada dalil untuk khitan bagi anak perempuan, baik yang mengacu pada Alquran maupun hadis. Namun, para ulama fikih berbeda pendapat mengenai hukum sunat tersebut.

 

 

"Ada yang mengatakan wajib, tidak wajib, dan ada juga yang memandang, itu pemuliaan atas perempuan," kata Ustaz Ahmad Sarwat, Rabu (31/1). Ia menjelaskan, dasar pensyariatan khitan mengacu pada Alquran surah an-Nahl ayat 123. Artinya, "Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ‘Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang hanif’ dan bukanlah dia (Ibrahim) termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan."

 

Ada pula hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Rasulullah SAW bersabda, "Khitan itu sunah buat laki-laki dan memuliakan buat perempuan" (HR Ahmad dan Baihaqi). Hadits lainnya diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda, "Nabi Ibrahim AS berkhitan saat berusia 80 tahun dengan kapak" (HR Bukhari dan muslim).

 

Selain itu, hadits Nabi SAW yang diriwayatkan dari Aisyah RA: "Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah" (HR. Muslim). Dalil-dalil tersebut menunjukkan dasar pelaksanaan khitan. Namun, khususnya bagi anak perempuan, para ulama fikih dari empat mazhab berbeda pendapat. Mazhab Syafii berpandangan, hukum khitan ialah wajib atas laki-laki dan perempuan. Adapun mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali tidak memandang khitan atas perempuan dari sisi hukum taklifi, melainkan afdhaliyyah (keutamaan).

 

"Ketiga mazhab tersebut (Hanafi, Maliki, dan Hanbali) mengatakan bahwa khitan yang dilakukan pada anak perempuan merupakan tindakan pemuliaan Islam atas perempuan," jelasnya.

 

Mazhab Hanafi

Ustaz Sarwat menjelasakan, mazhab Hanafi sepakat, berkhitan tidak diwajibkan bagi perempuan. Dikatakannya, mayoritas ulama dari mazhab ini tidak memandangnya dari perspektif hukum taklifi, tetapi sebagai kemuliaan bagi perempuan.

 

Ibnul Humam (wafat 681 Hijriah) adalah salah seorang ulama mazhab Hanafi. Dalam kitab Fathul Qadir, dia menjelaskan, "Khitan itu memotong sebagian dari zakar (kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan). Hukumnya sunah bagi laki-laki. Bagi perempuan, itu merupakan sebuah kemuliaan."

 

Az-Zaila’i (wafat 743 Hijriah) ialah salah satu ulama mazhab Hanafiy pula. Dalam kitab Tabyin al-Haqaiq Syarh Kanzu ad-Daqaiq, dia menulis, "Tidaklah sunah bagi perempuan berkhitan, tetapi sebuah kemuliaan bagi laki-laki karena dapat menambah keintiman dalam berhubungan suami-istri."

 

Mazhab Maliki

Adapun mazhab Maliki memandang, sunat bagi perempuan sebagai kemuliaan. Al-Qarafi (684 Hijriah), salah seorang ulama terkemuka mazhab Maliki menuturkan dalam kitabnya, Adz-Dzakhirah.

 

 

"Makruh bagi Imam Malik mengkhitan anak pada hari kelahiran ataupun hari ketujuh. Sebab, itu perbuatannya orang-orang Yahudi. Membatasi usia khitan ketika anak berumur tujuh tahun, sebagaimana diperintah untuk mereka shalat dari umur tujuh hingga 10 tahun. Ibnu Hubaib mengatakan, ‘Berkhitan bagi laki-laki sunnah, sedangkan bagi perempuan merupakan suatu kemuliaan."

 

Al-Hathab ar-Ru'aini (954 Hijriah), salah seorang ulama mazhab Maliki, menuliskan dalam kitabnya Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil, "Adapun khitan bagi perempuan, Ibnu ‘Arafah mengatakan bahwa itu adalah syariat yang mulia."

 

Mazhab Hanbali

Pendapat dua mazhab di atas juga senada dengan pandangan dari mazhab Hanbali. Ustaz Sarwat menjelaskan, menurut mazhab ini, hukum berkhitan dibedakan antara laki-laki dan perempuan. "Menurut mazhab Hanbali, (khitan) wajib bagi laki-laki, dan tidak wajib bagi perempuan," ujarnya.

 

Ibnu Qudamah (wafat 620 Hijriah), seorang ulama dari kalangan mazhab Hanbali, di dalam kitabnya, al-Mughni, menuliskan, "Diwajibkan bagi laki-laki berkhitan, sedangkan bagi perempuan tidaklah diwajibkan, melainkan hanya sebuah kemuliaan bagi yang mengerjakannya."

 

Syafii

Berbeda dari ketiga mazhab tersebut, Ustaz Sarwat mengatakan bahwa mazhab Syafii memandang bahwa berkhitan bagi laki-laki dan perempuan itu hukumnya wajib. An-Nawawi (wafat 676 Hijriah), salah seorang ulama mazhab Syafii, di dalam kitabnya, Minhaj at-Thalibin wa Umdatu al-Muftiin fi al-Fiqh menuliskan, "Wajib bagi perempuan berkhitan, dengan memotong sebagian daging kecil yang berada di bagian atas kemaluan, dan bagi laki-laki dengan menghilangkan sebagian kulit penutup bagian depan dari kemaluan, dan disunahkan bagi laki-laki untuk menyegerakan khitan di umur tujuh tahun."

 

Zakaria al-Anshari (wafat 926 Hijriah), yakni seorang ulama mazhab Syafii, di dalam kitabnya, Asnal Mathalib Syarah Raudhu ath-Thalib, menuliskan, "Dengan memotong sebagian daging kecil yang berada di bagian atas farji (kemaluan perempuan), letaknya di atas tempat keluarnya urine, dan bentuknya menyerupai jengger ayam, itu hukumnya afdhal (utama)."

 

Sementara, Ibnu Hajar al-Haitami (wafat 974 Hijriah), salah seorang ulama mazhab Syafii di dalam kitab Tuhafatu al-Muhtaj menuliskan, "Diwajibkan juga berkhitan bagi perempuan dan laki-laki." Kemudian, al-Khatib Asy-Syirbini (wafat 977 Hijriah), salah seorang ulama mazhab Syafii, di dalam kitab Mughni al-Muhtaj menuliskan, "Diwajibkan berkhitan bagi perempuan, dengan menghilangkan sebagian daging kecil di atas kemaluannya."(rep)