Kanal

Derita Hutan Riau Makin Parah, Gugatan KLH Rp16 Triliun MPL Ditolak

PEKANBARU, RADARPEKANBARU.COM - Para aktivis lingkungan di Provinsi Riau mengkritik Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru beberapa waktu lalu yang menolak gugatan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) terhadap PT Merbau Pelalawan Lestari terkait kerusakan ekologis hutan senilai Rp16 triliun.

Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau dan Riau Corruption Trial (RCT) lewat pesan elektronik kepada pers di Pekanbaru, Kamis (6/3/2014), menilai putusan majelis hakim itu menambah derita kerusakan hutan di Riau.


"Hasil investigasi Jikalahari, menemukan PT Merbau Pelalawan Lestari beroperasi menebang hutan alam yang berada di atas gambut untuk tanaman akasia," kata Suryadi selaku tim hukum RTC.


Putusan ini menurut dia jelas bertentangan dengan semangat hukum Mahkamah Agung yang berkomitmen berjuang menyelamatkan lingkungan hidup melalui Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup sejak dua tahun terakhiri," kata Suryadi.

Putusan tiga hakim tersebut, menurut dia juga bertentangan dengan komitmen Pemerintah Indonesia di dunia internasional dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca. "Salah satunya melawan perubahan iklim dengan cara memperbaiki gambut yang telah dirusak oleh korporasi berbasis tanaman industri," kata Muslim Rasyid selaku Koordinator Jikalahari.


Selain itu, kata dia, putusan hakim juga bertentangan dengan semangat memberantas kejahatan korupsi korporasi.
 

Padahal, kata dia, PT Merbau Pelalawan Lestari terlibat dalam kasus korupsi kehutanan terpidana Tengku Azmun Jaafar, Asral Rahman, Burhanuddin Husin dan terdakw Rusli Zainal. "Kemudian perusahaan ini juga terlibat dalam kasus illegal logging di Riau sejak tahun 2004," kata Riko Kurniawan dari Walhi Riau.


Tiga hari sebelumnya, hakim ketua dalam sidang putusan gugatan KLH, Reno Listowo di damping hakim  anggota Togi Pardede dan Jahuri Efendi memutus perkara perdata Gugatan Kerugian Ekologis Kementerian Lingkungan Hidup atas PT Merbau Pelalawan Lestari bergerak di bidang bisnis tanaman industri berbasis akasia di Pelalawan.


Salah satu pertimbangan majelis hakim, hasil penelitian ahli kehutanan dan gambut Prof Bambang Heru Saharjo dan Dr Basuki Wasis yang menemukan kerugian ekologis senilai Rp16 triliun, tidak sesuai projustisia lantaran penelitianya tidak sahih dan mutakhir. "Bagaimana mungkin penelitian seorang professor dibilang tidak ilmiah oleh majelis hakim?" kata Riko Kurniawan, Eksekutif Daerah Walhi Riau.


Ia mengatakan, putusan ini sama sekali tidak berpihak pada lingkungan hidup dan hak asasi manusia berupa keadilan ekologis.


Selain putusan tersebut bertentangan dengan komitmen Mahkamah Agung, Pemerintah Indonesia dan keadilan ekologis masyarakat, hasil pantauan selama persidangan, RTC menyatakan juga menemukan kejanggalan selama proses peradilan.


Setiap sidang, Kementerian Lingkungan Hidup melalui  kuasa hukumnya memohon kepada majelis hakim agar dilakukan Persidangan Setempat (PS).


Namun ditolak oleh hakim dengan alasan ketua majelis hakim akan segera pindah ke Padang dan harus berkoordinasi dengan pengadilan setempat."Inikan janggal. Padahal PS bagian dari memberi keyakinan pada majelis hakim melihat fakta sesungguhnya," kata Suryadi.


Temuan lainnya, kata dia, putusan majelis hakim sempat ditunda, yang seharusnya pada 18 Februari 2014, diputus baru tanggal 3 Maret 2014. "Sementara hakim sudah memutuskan dalam rapat permusyawarah hakim pada 10 Februari 2014. Dan kenapa putusan di malam hari, yang menurut jadwal pukul 14.00?" kata Suryadi.


Ia mengatakan, ada indikasi mafia peradilan sebelum putusan diambil oleh majelis hakim. (ant/ram)
Ikuti Terus Riaupower

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER