Kanal

Tentang Saudara dan Sumur Tua

Saudara kecilku. Sedari telapak kakimu seduajariku, engkau sudah menjadi beban bagiku. Bukan soal mengasuhmu di tengah kesibukan orang tua kita. Bukan pula ketika aku harus berbagi makanan denganmu di jamuan jauh dari kata cukup. Bukan pula karena aku abang sayangmu sedang engkau adek sayangku. Tapi itu semua aku lakukan karena aku ingin engkau lebih baik dariku.

Adik kecilku, sekarang telapak kakimu dua nomor di atasku. Tubuh putihmu hampir sejengkal melebihiku. Tapi, dalam hatiku dan segenap perlakuanku engkau tetaplah adik kecilku yang telapak kakimu seduajariku. Tetap saja aku ingin engkau jauh lebih baik dariku. Bahkan sampai pun aku pada batas usiaku, tetap saja aku ingin engkau bernasib lebih baik dibanding aku.

Mungjin secara kasat mata aku kini memang tak sebanding denganmu. Di usia matangku engkau belum seberapaku. Tapi bisa aku pastikan bahwa saat seusiamu dulu, nasibmu jauh lebih mujur dibanding aku. Dan aku ingin di usiaku nanti nasibmu tentu akan lebih baik dibanding aku saat ini.

Banyak pekerjaan yang belum aku selesaikan yang aku ingin selesai padamu. Banyak cita-citaku yang takkan mungkin aku capai tapi itu akan mudah padamu. Padamulah aku titipkan segala harap pinta dan cita-cita. Padamulah aku tanamkan ruhku sebenarnya yang akan engkau ejawantahkan nanti.

Adik kecilku, mungkin ini egois bagimu. Seperti meletakkanmu di balik bayang-bayangku. Seperti ingin memadamkan cahaya lilinmu dengan lampu bohlamku. Seperti memasungmu di paviliun istanaku.

Kalau itu penafsiranmu atas perlakuanku, aku bisa memakluminya karena mungkin sebatas itu sumbu akalmu. Tapi ingin aku pastikan bahwa itu tidak.

Bagiku, saudara adalah trah kedua yang paling intim setelah orang tua kita. Kawan boleh berkhianat tapi saudara tidak. Istri boleh bercerai tapi saudara tidak. Mitra bisnis boleh menipu tapi saudara tidak. 

Pada darahmu duhai adik kecilku mengalir deoxcyribose-nucleid acid yang sama. Pada ujung namamu terselip nama belakang kebanggaan keluarga kita seperti juga yang aku pakai. 

Jangan pergi dari saudaramu sebagaimana saudaramu juga tak pernah meninggalkanmu. Jangan keluar dari rombongan selama kafilah kita belum sampai tujuan.

Saudara kecilku, aku ingat dengan sebuah kisah, ketika sebuah kampung diserang berita gaib. Tentang sebuah sumur yang menelan penduduk. Tentang sumur dalam yang selalu mengeluarjan suara aneh dan menakutkan. Tak ada yang berani menyentuh dasar sumur dan mendeteksi makhluk mengerikan apa yang ada di dalamnya.

Sampai suatu saat ditunjuklah seorang pemberani di kampung itu untuk mencari tahu ada apa di dasar sumur dalam itu. Pria pemberani itu bersedia asal dia diberi tali tambang yang salah satu ujungnya dipegang warga plus oleh saudaranya sendiri. Mengapa oleh saudaranya yang berbadan ringkih? Mengapa tak cukup oleh masyarakat yang berotot kawat bertulang besi?

Ternyata sang pemberani itu benar. Ketika dia menjelang dasar sumur dan sesuatu memekik di dalamnya yang menciptakan suara mengerikan, semua penduduk berbadan besar itu lari dan meninggalkan ujung tali penyelamat nyawanya. Satu-satunya yang tak lari hanya saudaranya. Saudara ringkihnya. Dengan sekuat tenaga, dengan darah yang cucur di telapak tangannya, dengan tulang lengannya yang teramat rapuh dia tetap mempertahankan saudaranya walau harus seorang diri.

Duhai saudara kecilku, begitulah saudara tidak akan meninggalkan saudaranya. Dia adalah batang tubuh saudaranya yang lain dan akan saling topang-menopang, saling beri-memberi, kuat-menguatkan. Sakit saudaramu adalah sakitmu juga. Senang saudaramu adalah untukmu juga.

Sampai kapanpun, aku senang menanggung bebanmu, meski kau ragukan itu karena sumbu pendekmu.***

Ikuti Terus Riaupower

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER