Kanal

Lakpesdam NU: Konflik karena Perbedaan Bukan Tradisi NU-Muhammadiyah

RADARPEKANBARU.COM - Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlaatul Ulama (PB NU) Rumadi Ahmad mengapresiasi kejelian sutradara film "Bidah Cinta", Nurman Hamim dalam mengangkat tema yang kekinian. Film yang dibuatnya berhasil menyuguhkan edukasi tentang hidup toleran di tengah masyarakat yang beragam, baik dari sisi suku maupun agama.

Menurut Rumadi, film "Bidah Cinta" yang di dalamnya menceritakan adanya ketegangan akibat perbedaan pemahaman keagamaan telah menjadi cermin kondisi sekarang ini. Cerita di film tersebut bisa menjadi gambaran juga bahwa cinta dan saling menghormati bisa menjadi jembatan atas perbedaan.

"Saya mengapresiasi keterusterangan dalam mengangkat masalah ketegangan seperti ini. Karena, selama ini di dunia nyata ini hanya menjadi gunjingan di pojokan saja. Di film ini disampaikan secara terus terang. Orang banyak yang bilang masalah ini sensitif, tetapi di film ini berhasil disuguhkan suatu yang serius tetapi dengan santai, bahkan bisa dengan tertawa. Itu yang saya apresiasi," kata Rumadi dalam diskusi bertema "Kala Asmara Terbentur Paham Agama" yang digelar seusai nonton bareng film "Bid'ah Cinta" di Epicentrum, Jakarta, Rabu (22/3).

Nonton bareng dan diskusi diikuti seratusan orang dari berbagai komunitas dengan dipandu dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Nanang Tahqiq. Pembicara dalam diskusi tersebut selain Rumadi, adalah budayawan M Sobari, Fajar Riza Ulhaq dari Maarif Institute, dan Tsamara Amani dari perwakilan mahasiswa Universitas Paramadina.

Acara nonton bareng dan diskusi tersebut diselenggarakan oleh Nurcholis Madjid Society. Hadir juga dalam acara itu sutradara dan para pemain film "Bidah Cinta". Dalam film itu digambarkan bagaimana cinta antara Khalida dan Kamal yang terbentur perbedaah pemahaman keagamaan.

Kedua orang tua mereka juga kemudian ikut terlibat dalam ketegangan tersebut, bahkan hingga merembet ke komunitas masyarakat. Namun, pada akhirnya, ada pemahaman dan suatu kesepakatan agar tidak menjadikan perbedaan itu sebagai ketegangan dan sepakat untuk saling menghormati.

Menurut Rumadi, ketegangan komunitas sebagaimana digambarkan dalam film tersebut, yang dipicu perbedaan pemahaman bukanlah, cermin NU dan Muhammadiyah dalam menyikapi perbedaan. Kalau NU dan Muhammadiyah sekarang ini, kata dia, justru sudah saling mendekat di antara perbedaan-perbedaan yang ada. Tidak ada lagi ketegangan soal perbedaan qunut, ziarah kubur, tahlil, hingga soal penentuan hari raya.

"Sekarang sudah saling mendekat, tidak lagi ada kenyinyiran. Bahkan, yang dulu menjadi perbedaan sekarang bisa menjadi bahan untuk canda. Dulu, ziarah kubur, perdebatannya soal pokok agama, soal kemusyrikan, tetapi itu sekarang itu sudah bisa mentoleransi di masyarakat kita. Kemudian, soal hari raya, itu soal prinsip, lho. Karena, soal haram dan halalnya makan. Tetapi, mereka (NU-Muhammadiyah) bisa menoleransi," ungkapnya.

Sekarang ini, dalam kehidupan bermasyarakat baik NU maupun Muhammadiyah berdamai soal khilafiyah. "Sekarang ini, ada kelompok yang menimbulkan persoalan baru dan ketegangan baru. Jadi, yang konflik itu bukan tradisi Muhammadiyah maupun NU. Tetapi, varian lain," ungkap Rumadi, tanpa menyebutkan kelompok yang dimaksud.

"Jadi, film ini mengajak kita untuk berzikir dan merenung untuk maju. Orang lain sudah ke mana-mana, kenapa kita masih berhadapan soal pertentangan?" ujarnya.

Sementara, Fajar Riza Ulhaq mengatakan, film "Bidah Cinta" sangat edukatif dan komunikatif terhadap generasi muda, di mana lebih banyak yang suka menonton ketimbang membaca. "Ini bagian dari upaya literasi masyarakat kita yang disesati informasi bohong. Dalam kehidupan, cinta memang bisa menjadi jembatan jika terjadi perbedaan paham. Pesan dari film ini adalah bahwa perbedaan tidak perlu diselesaikan dengan cara kekerasan, tetapi bisa dengan diplomasi cinta," ungkapnya.


Asni Ovier/AO

BeritaSatu.com
 

Ikuti Terus Riaupower

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER