Kanal

Eddy A. Mohd Yatim, Dari Jurnalis Ke Gedung Wakil Rakyat

RADARPEKANBARU.COM- Eddy A. Mohd Yatim, S.Sos, M.SI, Putra kelahiran Bengkalis, 1968, memulai karirnya sebagai seorang Jurnalis, memang bukan generasi pertama yang bergabung bersama perahu besar bernama Harian Pagi Riau Pos. Generasi awal dengan semangat "membujur lalu, melintang patah", bertungkus lumus, berdarah-darah membangun tradisi "berkoran harian" bermodalkan semangat baja dan bambu runcing.

Menyulam tekad menepis pandangan, Riau bukan lagi teritori kelas dua yang sentiasa menerima takdir sebagai penikmat karya dari wilayah tetangga. Tabik dan hormat untuk mereka yang terpatri sebagai generasi penembus mitos, peletak dasar revolusi media yang menempatkan Riau sebagai kiblat utama di Sumatera.

Sebagai jurnalis generasi ketiga yang membangun karier di Riau Pos, aroma perjuangan ketika itu tentu saja masih terasa kental mengalir. Bisa jadi ini disebabkan budaya kerja "koran harian" yang terbangun hasil transfer dari Group Jawa Pos di Surabaya. Kata "deadline" dan "kebobolan" bertukar menjadi cambuk dan momok yang menakutkan.

Bagi senior pula, dua kata ini seakan menjadi "senjata" dalam memberi penugasan tanpa reserve. Tidak ada alasan tak dapat dan tidak boleh pula ada alasan terlambat. Dalam ruang kecil keredaksian, demokrasi seperti tidak memiliki tempat. Mau kondisi badan sehat atau tidak, siang atau malam, jika perintah KL (koordinator liputan, pen) keluar, pulangnya harus bisa menghasilkan berita yang telah ditugaskan. Pokoknya, berita harus ada, lengkap dengan konfirmasinya. Pokoknya…Titik.

Saya merasa bangga pernah bergabung dalam sebuah tim kerja bersama dengan orang-orang yang dijuluki "sang penembus mitos". Di bawah mentor bertangan dingin Rida K Liamsi, banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan. Terutama berkaitan dengan rasa tanggung jawab, leadership, positif thinking dalam memandang persoalan dan integritas diri yang hingga kini masih terus tertanam.

Sambil jalan, harus pula diakui saya banyak mencuri ilmu dari generasi sulung Riau Pos seperti Kazzaini Ks, Mosthamir Thalib, Sofyan Syamsir, Taufik Muntasir, Amril Noor, Marah Suryanto, Bakhtiar, Helmi Burman, Despandri dan almarhum Mai Irianta. Begitu pula saat kerja bersama dalam sebuah tim kecil dengan senior semisal Mafirion, Sutrianto, Amzar, Hasan Hanafi dan lain-lain, pengalaman itu makin mematangkan diri saya menjadi seorang jurnalis.

Terbit perdana 17 Januari 1991, Riau Pos memang tidak bisa dipisahkan dari nama besar seorang Rida K Liamsi. Hadir ke tangan pembaca ketika perang teluk meletus --saat Amerika Serikat menggempur dan membombardir Irak dengan Operasi Badai Gurun-nya-- Riau Pos pun tampil menghentak jantung orang-orang Riau laksana dentuman bom dengan headline “Perang Teluk Meletus”.

Meski dicetak dalam bentuk hitam putih, kehadirannya menjadi momentum dan babak baru tradisi berkoran harian di Bumi Lancang Kuning. Sebuah impian panjang yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan bisa wujud di Provinsi Riau. Apalagi, selama ini seluruh media harian yang menguasai pasar Riau adalah hasil terbitan dari Padang, Medan dan Jakarta.

Tidak perlu waktu lama, media-media impor itu pun perlahan-lahan mulai meredup dan tergeser. Sebab, kerinduan untuk memiliki sebuah koran harian memang sudah begitu lama “membuncah” di hati orang Riau. Karenanya, dengan tetap konsisten menjaga terbit setiap hari, memasuki tahun kedua Riau Pos telah merasuk ke dalam sendi kehidupan masyarakat Riau.

Terlebih lagi, para senior yang menggawangi penerbitan, benar-benar memahami betul lagu permintaan dan selera yang diinginkan orang Riau. Begitu menyatu dan dekat. Sehingga, bagi saya yang masih tercatat sebagai mahasiswa ketika itu, tidak lengkap rasanya jika hari berganti tanpa membaca Riau Pos. Meski pun untuk itu harus rela mendatangi koperasi mahasiswa hanya sekadar bisa membaca secara gratis.
 
Terus terang, pilihan saya untuk menjadi seorang jurnalis bukan disebabkan tidak adanya peluang pekerjaan lain, alias dari pada jadi pengangguran. Pilihan ini didasari rasa idealisme serta melihat profesi seorang jurnalis yang penuh dengan tantangan. Dalam persepsi saya ketika itu, jurnalis identik dengan kerja intelektual. Seorang jurnalis mestilah cerdas, banyak pengetahuan dan bisa menjadi jembatan penyampai aspirasi.

Tidaklah mudah untuk bergabung dengan sebuah media di zaman masih ketatnya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, pen) era orde baru. Di samping jumlah media yang sangat terbatas, mereka pun mesti memiliki kemampuan dasar jurnalistik dan benar-benar seorang petarung. Media ketika itu masih sangat kental sebagai sarana perjuangan, bukan hanya sebagai bahagian dari bisnis semata.

Sebelum bergabung dengan Riau Pos di penghujung tahun 1995, saya sempat menjadi penulis tetap pada rubrik opini di harian ini. Pengalaman menulis saya dapatkan saat mengelola majalah Warta Unri di bawah asuhan Prof. Dr. Muchtar Ahmad, M.Sc, serta membantu penerbitan Jurnal Kebudayaan Dawat di bawah asuhan Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M.Psi dan Drs. Elmustian Rahman, MA. Bahkan saya juga sempat menjadi peneliti pada P2BKM (Pusat Pengajian Bahasa dan Kebudayaan Melayu) Unri yang dinakhodai Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M.Psi dan PPIP (Pusat Penelitian Industri Perkotaan) Unri yang dikomandoi Prof. Dr. Ashaluddin Jalil, MS. Sebuah dunia yang penuh dengan tradisi pencerdasan. Karenanya, ketika masuk ke dalam gerbong Riau Pos, saya tetap membangun hubungan kebersamaan dengan orang-orang kampus yang juga merindukan keberadaan koran harian pertama di Riau ini.


Saya memang tidak lama merasakan "nuansa pengap" ketika berkantor di Jalan Kuantan Raya. Pasalnya, baru beberapa bulan bergabung, pada tahun 1996 Riau Pos sudah menempati kantor baru yang sangat bedelau di Jalan Raya Pekanbaru-Bangkinang. Markas baru ini menjadi gedung paling megah di sepanjang jalan itu, sehingga eksistensi koran kebanggaan masyarakat Riau ini pun kian perkasa. Apalagi nuansa taman di depan gedung Riau Pos dengan icon patung kuda dan air mancurnya, sempat pula menjadikan halaman depan kantor Riau Pos sebagai satu-satunya destinasi pilihan warga untuk berekreasi di kala petang. Tentu saja hal itu makin menambah kebanggaan bagi kami menjadi bagian dari keluarga besar Riau Pos.

Memulai karier sebagai reporter lapangan, banyak kisah suka dan duka yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Saya masih mampu mengingat dengan jelas bagaimana mencekamnya suasana ketika melakukan liputan konflik antara masyarakat Mahato dengan massa perusahaan di Tambusai. Begitu pula raut wajah penuh harap masyarakat di Desa Pambang, Bengkalis yang hidup tersudut akibat konflik jaring batu yang tidak berkesudahan. Lalu ketika kami berbondong-bondong "macam punai" --meminjam istilah masa itu-- berburu berita dari nara sumber agar mendapatkan informasi yang lebih menggigit. Saat-saat seperti itu, tidak ada rasa letih dan takut. Apalagi jika informasi yang kita sampaikan ternyata bisa membantu masyarakat yang terzalimi menjadi lebih baik. Perasaan yang muncul, seakan kita sudah ikut mengubah dunia. Sebuah rasa puas yang sulit digambarkan.

Sebagai satu-satunya media harian terbitan lokal saat itu, menjadi jurnalis Riau Pos merupakan sebuah kebanggaan. Malah terkadang muncul juga rasa "engkek" --yang sebenarnya tidak patut-- karena merasa kehadiran kita dianggap penting atau bisa jadi kita sendiri yang merasa penting. Pernah suatu ketika --mungkin karena begitu kuatnya branding Riau Pos-- panitia sengaja mengulur acara dan tak kunjung membukanya tersebab jurnalis Riau Pos belum tampak hadir. Seolah sebuah helat, belum afdol dan sah, jika besoknya tidak terbit di Riau Pos. Hal ini mengingatkan saya terhadap petuah Pak Dahlan Iskan terkait dengan community newspaper-nya yang diterjemahkan Pak Rida melalui konsep Jurnalisme Akomodatif. Masyarakat akan senang melihat dan ingin tahu apa yang terjadi di sekitarnya melalui media. Dan Riau Pos dengan cepat serta cekatan menangkap peluang ini.

Satu dasa warsa membangun karier bersama Riau Pos, banyak kisah sebenarnya yang ingin dinukilkan. Dari Riau Pos-lah saya belajar mulai dari A sampai Z proses menerbitkan sebuah koran harian. Dan Insya Allah untuk pelajaran itu, saya cukup khatam. Sebagai reporter, redaktur, koordinator liputan (Korlip) lalu redaktur pelaksana (Redpel) hingga posisi tertinggi di jajaran redaksi sempat saya rasakan. Bahkan dalam usia 32 tahun, saya diberi kepercayaan memegang kendali sebagai pemimpin redaksi. Sebuah posisi sangat prestisius (waktu itu) yang banyak diidam-idamkan oleh seorang jurnalis.

Saya terlibat aktif ketika Riau Pos melakukan ekspansi melebarkan sayap mendirikan koran harian di Padang, Batam dan Medan. Ketika suatu petang dalam sebuah rapat redaksi (rapat evaluasi dan proyeksi harian yang diikuti redaktur ke atas, pen), tiba-tiba Pak Rida menawarkan siapa yang bersedia ditugaskan ke Medan untuk menjadi redpel tamu. Tugasnya melatih dan mempersiapkan tim kerja, karena Riau Pos akan mendirikan koran harian di sana. Usai tawaran dilemparkan, ruang rapat berubah menjadi senyap. Tawaran itu tak bersambut. Sebagai orang baru di jajaran redaktur, diam-diam saya perhatikan wajah rekan-rekan peserta rapat. Raut wajah mereka seakan penuh ketakutan, jika pilihan Pak Rida jatuh kepadanya. Cukup lama tidak ada yang menjawab, dan Pak Rida pun ternyata tidak menggunakan hak prerogatifnya. Ketika rapat hendak ditutup, saya langsung mengacungkan tangan sambil berkata "saya siap pak". Mungkin karena masih tergolong baru dan banyak lagi yang senior, kesiapan saya itu tidak serta merta disetujui. Agaknya Pak Rida menganggap respon saya hanya sebuah euforia mengingat para senior saja banyak yang "gamang" ditugaskan ke Medan.

Setelah rapat, masing-masing orang kembali tenggelam dalam kesibukannya. Yang reporter sibuk membuat berita, redaktur pun tunak melakukan editing di komputer masing-masing. Ketika sedang asyik berkutat dengan berita yang dikirim dari daerah, tiba-tiba Pak Rida berdiri di belakang dan berkata "engkau serius mau ke Medan, Di?". Langsung saja saya jawab "serius Pak!". Saya lihat, Pak Rida ketika itu belum seratus persen yakin. Lalu katanya lagi, "cobalah bicarakan dan izin dengan orang rumah". Saya jawab, "tak ada masalah tu Pak, orang rumah pasti suai tu". Jawaban spontan tersebut membuat Pak Rida mulai yakin. Padahal saat itu, istri sedang memasuki masa kehamilan lima bulan anak pertama. Besoknya ketika masuk kantor saya menjumpai Pak Rida melaporkan kesiapan untuk berangkat ke Medan. Akhirnya, Pak Rida pun setuju dan malamnya saya pun berangkat sendirian menuju Medan dengan bus Makmur. Sebuah kota yang sama sekali saya tidak pernah menginjakkan kaki sebelumnya.    

Meski tergolong singkat, Medan banyak memberikan muatan kehidupan. Tiga bulan ditempa di negeri halakita itu, begitu banyak pengalaman didapatkan. Hadir di tengah mapannya media yang sudah lama eksis seperti harian Analisa, Sinar Indonesia Baru dan beberapa yang lainnya benar-benar melahirkan tantangan tersendiri. Membangun anak usaha Riau Pos seperti harian Medan Ekspres yang berganti nama Radar Medan dan sekarang menjadi Sumut Pos, haruslah memiliki nilai lebih dibanding media harian yang sudah duluan lahir di sana. Tampil dengan style dan wajah baru --koran tujuh kolom dan berita yang lebih elegant serta dekat dengan pembaca, merupakan menu andalan yang hendak dijual. Tampilan ini mendobrak pakem tradisi koran harian lama dengan meninggalkan model koran sembilan kolom. Dengan desain dan gaya perwajahan yang smooth, koran baru ini dengan cepat diterima pasar. Meski awalnya sempat terjadi pertelagahan dengan "penguasa pasar" tersebab kehadirannya dianggap "tanpa kulonuwun" ke gedung putih.

Usai mengemban "tugas negara" di Medan, saya kembali ke kapal induk Riau Pos. Tiga bulan "sekolah" di Medan, pulang kandang langsung diberi kepercayaan menjadi redaktur pelaksana (Redpel). Secara penjenjangan, posisi Redpel ketika itu di Riau Pos dianggap sebagai batu loncatan menuju posisi puncak di jajaran redaksi. Hampir satu tahun menjaga gawang di Riau Pos, Juli 2000 saya dikirim ke Batam sebagai Wakil Pemimpin Redaksi (Wapemred) harian Sijori Pos --sekarang Batam Pos. Empat bulan menjadi Wapemred, saya diberi kepercayaan sebagai Pemimpin Redaksi (Pemred).

Lain Medan, lain pula Batam. Masuk ke Batam saat daerah ini baru saja "terbebas" dari Otorita Batam menjadi daerah otonom, haruslah dihadapi dengan seni tersendiri. Batam sebagai daerah terdepan dalam konsep kerjasama Singapura-Johor-Riau --yang dikelola dua kekuasaan Otorita dan Pemko sedang mencari format yang tepat.

Di sinilah konsep jurnalisme akomodatif itu menjadi ruang yang tepat diterapkan. Batam mengajarkan kearifan sebagai pengendali media harian lokal yang sangat berpengaruh saat itu. Konflik lahan, konflik kewenangan, konflik sosial ekonomi yang mewarnai daerah ini mesti disikapi secara arif untuk kemajuan daerah. Media tidak bisa tampil hanya melihat dari satu sisi dan melakukan penghakiman. Terkadang persoalan yang tampak telanjang, tidak serta merta menjadi berita tanpa melihat dampaknya lebih luas.

Pernah ketika terjadi konflik sosial, perang antar suku di Muka Kuning, media hampir saja tergiring menjadi "batu api" yang makin mempertajam konflik. Untung saja saat turun langsung ke lapangan dan melakukan diskusi dengan pemerintah dan aparat keamanan, hal itu tidak sampai terjadi. Jika media hanya melihat dari peristiwanya saja, dan mengabarkan informasi itu secara terang benderang, tentu akan membuat hawa konflik semakin tinggi. Begitu pula ketika kantor media kami diserang ratusan Banser dan ulama, disebabkan memuat karikatur yang dianggap menyudutkan. Pengalaman ini benar-benar memberikan pelajaran kearifan bagaimana mengelola "kekuasaan" khususnya media.

Dua tahun di Batam, saya kembali pulang barak ke kapal induk Riau Pos. Pengalaman berkoran yang didapatkan dari tour of duty itu semakin memperkaya wawasan dan sikap sebagai seorang jurnalis. Menjadi jurnalis, menurut saya memang harus lahir dari hati dan mesti selalu diasah hingga menjadi hobby. Jika sampai tahapan itu, membuat berita dan menulis laporan bukan lagi beban, malah menjadi sesuatu yang mengasyikkan.

Tulisan ini bukannya hendak mengupas sudut heroik seorang Eddy A. Mohd Yatim dalam dunia jurnalistik. Namun lebih kepada ingin menceritakan semangat yang ada dan barangkali bisa menjadi motivator untuk generasi berikutnya. Riau Pos hari ini tidak bisa dinafikan adalah sebuah kapal besar yang belum tertandingi. Hanya saja, kemegahan itu bukanlah suatu yang abadi. Di samping pesaing-pesaing media cetak lokal yang terus mengintai di belakangnya, trend media sosial dan website yang memiliki kecepatan informasi juga ikut mengancam.

Karenanya, posisi mapan yang dinikmati punggawa Riau Pos hari ini bisa menjadi malapetaka bagi keberlangsungan koran kebanggaan masyarakat Riau ini. Tanpa inovasi dan terus menerus melakukan eksplorasi, bisa jadi perlahan-lahan harian ini akan ditinggalkan pembaca. Saya masih ingat pesan Pak Rida, yang akan membunuh seorang jurnalis adalah rasa puas dan cepat merasa mapan sehingga berubah laksana "buaya kenyang". Begitu juga pola kerja tidak mau berkeringat, yang mulai mewabah di kalangan jurnalis saat ini.

Karena kecintaan dalam dunia jurnalistik, pada setiap kesempatan bertemu junior baik dari Riau Pos maupun media lain saya selalu menyampaikan pesan-pesan tersebut. Ini bukan dengan maksud menggurui atau merasa punya nilai lebih. Hanya saja  karena ada sedikit pengalaman dan saya lebih duluan dari para junior terjun ke dunia itu. Misalnya, saya sangat tidak setuju ketika seorang jurnalis hanya mengandalkan telepon dalam melakukan konfirmasi terhadap sebuah berita apalagi berita kasus. Hal ini seakan sudah menjadi tend. Mesti di zaman teknologi canggih saat ini, cara tersebut tetap sangat lemah dan mudah dimanipulasi. Saya pun menjadi sedih dengan munculnya beragam istilah di kalangan jurnalis sekarang seperti "wartawan tukang", "wartawan telepon (wartel)", "wartawan caro (wc)" dan lain sebagainya.

Saya yakin ini muncul karena kurangnya integritas diri serta memilih profesi jurnalis bukanlah dari hati. Tentu saja itu bukan bersifat general dan hanya oknum. Dan pada semua profesi di muka bumi ini, akan ada dan selalu lahir oknum-oknum seperti itu. Di usianya yang ke 25 tahun, saya berharap Riau Pos tetaplah menjadi sebuah mitos. Sehingga ia akan menjadi warisan terbaik yang pernah kita ukir dan kita jaga bersama di bumi Lancang Kuning ini.

Harapan ini, bukan hanya sekadar slogan semata. Sebab, saya yakin karena Riau Pos-lah saya menjadi seperti hari ini. Karena Riau Pos-lah saya ada. Bukan bermaksud latah mengutip filsuf rasionalis abad-17 Rene Descartes, Cogito Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada). Terlepas apakah pernyataan ini hanya bertepuk sebelah tangan yang jelas dalam darah ini, mengalir darah Riau Pos dan jurnalis. Makanya, hingga di KTP pun pada kolom pekerjaan hingga kini tertulis "wartawan" sebagai profesi. Sampai kapan pun...

Kini Sang Wartawan Senior itu mengabdikan dirinya menjadi anggota DPRD Riau melalui Partai Demokrat, Eddy A. Mohd Yatim menceritakan perjalanannya didunia politik mengantarkannya ke gedung DPRD Riau ini tidak terlepas juga dari pendidikannya S1 Fisipol Universitas Riau,  dalam jurnalistikpun banyak bersentuhan dengan dunia politik, termasuk dengan para eksekutif,  Edi A. Mohd Yatim juga banyak terlibat dalam kegiatan pilkada, dirinya banyak diminta pendapat dan masukan dalam memenangkan pilkada.

Memasuki dunia politik praktis menurut Edi Yatim ternyata tidak semuda yang kita bayangkan, banyak aspirasi aspirasi yang kita perjuangkan namun karna pelaksananya pihak eksekutif  tentu tidak semua yang bisa diakomodir, bagi Edi Yatim Pimpinan Umum Riau Tribun ini ia berharap kedepan kewenangan DPRD itu harus diperkuat lagi dan perlu reformasi agar Aspirasi yang disampaikan masyarakat melalui reses itu bisa terlaksana dan bukan hanya sekedar formalitas belaka, sebagai Anggota DPRD Riau kitalah yang berhadapan dengan masyarakat tentu kita yang ditagih Masyarakat ****

Eddy A. Mohd Yatim, S.Sos, M.Si
Mantan wartawan Riau Pos, Anggota DPRD Provinsi Riau
 

Ikuti Terus Riaupower

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER