Kanal

Dari Total 7,1 Juta Hektar, Saat ini Hutan Riau Hanya Tersisa Kurang Dari 2 Juta Hektar

RADARPEKANBARU.COM- Moratorium untuk Melindungi Hutan Indonesia akan berakhir pada 12 Mei 2015 mendatang. Berjalan lebih kurang 4 tahun sejak 2011 lalu, menjadikan moratorium masih banyak menyisakan kekurangan-kekurangan di beberapa item. Salah satunya ada ketegasan atau sanksi mengena terhadap para perambah dan pembakar hutan dan lahan. Penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutam alam primer dan lahan gambut harus dilanjutkan dengan beberapa perbaikan. Salah satunya dengan memperkuat basis hukum dari semula yang hanya instruksi Presiden menjadi setidaknya dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). Hal ini untuk mendukung dan mengikat bagai aparatur pemerintahan di daerah. Diskusi Terbatas bertemakan "Melanjutkan Moratorium untuk Melindungi Hutan Indonesia" di Pekanbaru, Selasa (5/5/2015) memberikan rekomendasi mengerucut untuk melanjutkan moratorium melalui Perpres. Hadir dalam diskusi tersebut Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau, H Arsyadjuliandi Rachman yang diwakili Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Riau, Yulwiriati Moesa, Direktur Eksekutif Walhi Riau Riko Kurniawan, Aktivis Jikalahari Muslim Rasyid, Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau, Haris Gunawa, dan Ketua Pansus Perizinan Lahan DPRD Riau Suhardiman Amby. "Riau memiliki lapisan gambut terdalam di dunia hingga mencapai 16 meter. Selain itu, Riau juga merupakan daerah pemilik lahan gambut terbesar di Sumatera yakni sebesar 4 juta hektar lebih sehingga peluang kebakaran lahan dan hutan cukup besar," terang Yulwiriati Moesa. Kini kondisi lahan gambut di Riau dalam ancaman yang serius akibat karhutla, serta alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit dan akasia. "Kerjasama dengan Pemerintah Pusat, BP REDD+ hingga kabupaten/kota terus dilanjutkan agar antisipasi kebakaran lahan bisa dipertahankan," sambung Yulwiriati. Direktur Eksekutif Walhi Riau, Riko Kurniawan, mengatakan, saat ini fakta yang terjadi di Riau adalah lahan gambut yang memiliki gambut dalam dan hutan alam yang masih bagus tidak termasuk dalam wilayah Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB). "Juga perlu dilakukan audit pemberian izin yang telah dikeluarkan. Sehingga lahan gambut yang tersisa di Riau bisa diselamatkan," kata Riko. Aktivis Jikalahari, Muslim Rasyid, menyambung bawah moratorium hutan dan gambut perlu diperkuat dengan memberikan ruang dan akses masyarakat untuk terlibat aktif dalam perlindungan hutan dan gambut itu sendiri. "Blok Rimbang Baling, hutan Rumbio, Buluh Cina dan hutan desa Segamai-Serapung merupakan contoh baik bahwa masyarakat lokal lebih lestari dalam mengelola hutan dan lahan gambut," tandas Riko. Selanjutnya, Direktur Pusat Studi Bencana Unri, Haris Gunawan, memberikan pendapat bahwa kebijakan nasional tentang moratorium sejak 2011 perlu diperpanjang dan diperluas, terutama kaitannya terhadap aspek implementasi, pengawasan dan mekanisme sanksinya. "Harus dijelaskan bagaimana mekanisme pengelolaan kawasan hutan open akses, evaluasi dan validitas izin, dan pengembangan tata kelola hutan yang lestari, termasuk di dalamnya capaian pengelolaan gambut yang rendah emisi," tukas Haris Gunawan. Sementara itu, Ketua Pansus Perizinan DPRD Riau, Suhardiman Amby, menyatakan dukungan terhadap kampanye melanjutkan kebijakan moratorium dengan langsung melakukan monitoring terhadap kondisi hutan. "Saat ini hutan yang masih tersisa kurang dari 2 juta hektar dari total 7,1 juta hektar. Monitoring akan sesegera mungkin dilakukan untuk penyelamatan kawasan hutan lindung, produksi terbatas, produksi dan konservasi sumber daya alam yang memang sampai saat ini dalam kondisi kritis," tegas Suhardiman.*** (radarpku)
Ikuti Terus Riaupower

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER