Kanal

Jokowi yang Tak Berkutik Atasi Kebakaran Hutan

RADARPEKANBARU.COM -- Yuniar Aryo Praptomo (28), harus hidup di tengah asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dalam sepekan terakhir. Ia tinggal di Kecamatan Indralaya Utara, Ogan Ilir, Sumatera Selatan dalam kepungan kabut asap. Asap yang menyelimuti wilayahnya cukup tebal, sampai sinar matahari tak bisa menembus. Pekat asap karhutla ini membuat masyarakat sekitar khawatir untuk beraktivitas.


"Matahari keliatan tapi enggak terlalu terasa panas. Terus sekitar jam tiga sorean itu sudah mulai gelap, karena matahari ketutup asap," kata Aryo saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Rabu (18/9). Aryo mengurangi aktivitas di luar rumah sejak asap semakin tebal menyelimuti daerah tempat tinggalnya. Meski demikian tak sedikit warga lain yang tetap beraktivitas seperti biasa di tengah kondisi diselimuti asap.


Menurutnya, beberapa masyarakat bahkan tetap beraktivitas tanpa menggunakan masker, padahal asap tersebut bisa mengancam kesehatan tubuh. "Ada yang beberapa cuek aja, ada juga yang sadar kemana-mana pakai masker," ujar pria yang sehari-hari bertani. Aryo mengatakan titik api di wilayahnya itu berada di Desa Bakung, Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir. Ada juga titik api yang berada di dalam kawasan Kebun Raya Sriwijaya.



Cerita Aryo adalah sekelumit kisah nestapa masyarakat yang merasakan langsung asap karhutla. Aryo dan beberapa warga lain di sekitarnya hanya sedikit dari ratusan ribu orang yang merasakan hal serupa di wilayah lain, seperti Provinsi Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.


Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pukul 09.00 WIB, Rabu (18/9), titik panas (hotspot) masih terdeteksi di enam provinsi, yakni Riau sebanyak 388 titik panas, Jambi 555 titik panas, Sumatera Selatan 482 titik panas. Kemudian Kalimantan Barat 346 titik panas, Kalimantan Tengah 281 titik panas, serta Kalimantan Selatan 105 titik panas. Total seluruh luas lahan seluruh Indonesia yang terbakar sekitar 328.724 hektare terhitung Januari-Agustus 2019.



Presiden Joko Widodo sendiri sudah turun ke lapangan meninjau penanganan karhutla di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan, Riau, Selasa, (17/9). Ia memantau langsung aktivitas para petugas menjinakkan si jago merah. Jokowi menekankan kepada jajarannya soal pentingnya pencegahan untuk menghindari kebakaran membesar dan meluas seperti sekarang. Untuk melakukan pemadaman Jokowi sudah memerintah penambahan pasukan 5.600 personel.


"Segala upaya kita lakukan. Tetapi memang yang paling benar itu adalah pencegahan sebelum kejadian. Ini api satu (terdeteksi) langsung padamkan, satu padam. Itu yang benar," ujarnya. Namun, langkah Jokowi turun ke lapangan memantau kondisi dan penanganan karhutla dinilai tak menyelesaikan masalah yang terjadi hampir setiap tahun ini. Jokowi seperti 'diskak mat' alias tak berkutik dalam mengatasi karhutla.


Team Leader Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas menyebut Jokowi yang datang ke lokasi karhutla, kemudian berjanji menindak pelaku hingga menjamin tak bakal terjadi kebakaran lagi merupakan langkah yang hanya diulanginya tanpa tindakan nyata. Sebab saban tahun karhutla masih saja terjadi, baik skala kecil maupun besar.


"Selama ini presiden datang ke situ (lokasi kebakaran hutan dan lahan), foto-foto dan selalu berjanji dengan sesuatu yang terus diulang sama dia," kata Arie. Arie mencontohkan janji Jokowi sejak 2015 lalu, ketika karhutla yang paling besar terjadi, seperti melakukan penegakkan hukum sampai para Kapolda dan Pangdam yang gagal mengatasi karhutla bakal dipecat tak dilakukan hingga hari ini.


Jokowi diketahui kembali mengulangi instruksi untuk mencopot Kapolda dan Pangdam yang tak mampu mengatasi karhutla saat Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan 2019, di Istana Negara, Jakarta, awal Agustus lalu. "Itu dari 2015 disampaikan. Artinya memang, saya sebut ini lip service, dia bicara tapi tindakan itu tidak dilakukan," ujar Arie.


Ia mengatakan Jokowi tak belajar dari masalah karhutla yang sebelumnya terjadi pada 2015 lalu. Seharusnya, pemerintah bisa mengambil pembelajaran dari karhutla besar yang terjadi pada 1997, 2015, serta kejadian setiap tahun di Kalimantan. "Sekarang itu hampir sama kaya 2015 dan tidak ada tindakan apapun menyelesaikan persoalan itu. Selama 2015 sampai sekarang presiden tidak serius memimpin bagaimana upaya-upaya itu dilakukan," tuturnya.

 

Arie menyatakan setidaknya pemerintah bisa melakukan beberapa langkah untuk menekan karhutla agar tak terus terjadi setiap tahun. Pertama, merestorasi lahan gambut agar pulih dan tetap basah, sehingga tidak mudah terbakar. Menurut Arie, Badan Restorasi Gambut (BRG) yang sudah dibentuk sejauh ini juga tidak mampu melakukan upaya merestorasi wilayah gambut yang rusak.


Kedua, pemerintah harus berani mengevaluasi izin konsesi lahan sejumlah perusahaan. Menurutnya, wilayah gambut yang rusak dan dibuka sebagian besar berada di dalam konsesi perusahaan yang berbentuk HTI. Langkah ketiga, pemerintah harus tegas menjerat perusahaan yang terlibat dalam kebakaran hutan. Ia berpendapat pemerintah masih setengah-setengah memproses hukum perusahaan terkait kasus karhutla ini.


"Jadi kalau kita lihat dari dulu sampai sekarang itu banyak sekali izin-izin sawit atau HTI itu yang wilayahnya terjadi kebakaran," ujarnya. Namun langkah-langkah tersebut belum ditempuh oleh pemerintah. Buktinya saja pemerintah malah mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) soal gugat warga negara terkait kasus karhutla di Kalimantan Tengah tahun 2015 lalu.


Menurutnya, jika pemerintah serius mencegah karhutla, maka seharusnya mereka menjalankan putusan yang telah diketok MA Juli 2019 lalu itu. Arie yang juga ikut menggugat dalam kasus ini menuding pemerintah justru melindungi pengusaha--yang rata-rata memiliki perkebunan sawit--ketimbang menjaga masyarakat dari dampak karhutla yang terjadi setiap tahun.


"Mereka melindungi pengusaha, melindungi bisnis oleh segelintir orang, karena sawit itu kan bukan juga punya banyak orang tapi segelintir orang," katanya.

Penegakan Hukum Semu

Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Kelas Walhi, Wahyu A Perdana mengatakan pemerintah melakukan penegakan hukum semu dalam kasus karhutla ini. Menurutnya, Polri baru sebatas menjerat individu atau pelaku lapangan, namun belum menyentuh perusahaan yang disinyalir terlibat.


Berdasarkan rilis yang disampaikan Polri, Rabu (18/9), telah ditetapkan 230 orang tersangka kasus karhutla di sejumlah daerah. Rincian para tersangka itu berada di Riau sebanyak 47 tersangka, Sumatera Selatan 27 tersangka, Jambi 14 orang tersangka, Kalimantan Selatan 2 tersangka, Kalimantan Tengah 66 tersangka, Kalimantan Barat 62 tersangka, dan Kalimantan Timur 12 tersangka.


Sementara untuk korporasi, kepolisian baru menjerat 5 perusahaan sebagai tersangka. Mereka antara lain, PT SSS di Riau, PT Bumi Hijau Lestari di Sumatera Selatan, PT Palmindo Gemilang Kencana di Kalimantan Tengah, dan PT SAP dan Sizu di Kalimantan Barat. "Bisa dilihat bahwa penegakan hukum masih menyasar orang per orangan dan belum serius menyasar korporasi. Sedangkan untuk KLHK, masih belum diketahui maksud dari penyegelan yang dilakukannya," kata Wahyu.

 

Wahyu menyatakan dalam kasus karhutla yang masuk kategori kejahatan luar biasa, perusahaan yang memiliki konsensi harus bertanggung jawab mutlak. Polisi tak perlu ragu dalam mengusut keterlibatan perusahaan dalam kasus karhutla di sejumlah daerah ini. Selain itu pemerintah juga harus tegas mencabut izin konsensi perusahaan yang terbukti melakukan karhutla. Pasalnya, dari data yang disampaikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagian besar kebakaran ini terjadi di lahan konsensi.


"Kalau kita menyerah meminta korporasi tanggung jawab kerugian dan biaya pemulihan lingkungan hidup, pidana atau perdata kita akan dihadapkan terus nanti dalam kondisi yang sama di tahun-tahun berikutnya," ujarnya.

Wahyu mengatakan Jokowi tak cukup hanya dengan turun ke lapangan melihat lokasi karhutla lalu memberikan pernyataan kepada awak media. Menurutnya, yang harus dilakukan Jokowi adalah membuat kebijakan strategis dan melakukan evaluasi total atas kerja yang dilakukan dalam menangani karhutla.


"Karena kalau turun dan memberikan statemen nanti enggak beda dengan saya. Jadi maksudku itu, ada wewenang yang lebih tapi tidak diupayakan seratus persen," tuturnya. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan bahwa Jokowi meski berada di Jakarta terus memantau penanganan karhutla yang terjadi di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan. Selain itu Jokowi juga sudah memantau langsung karhutla di Riau.


"Di situlah presiden ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa semangat untuk menanggulangi karhutla bukanlah sebuah retorika," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (17/9). Moeldoko meminta agar pemerintah daerah juga bekerja keras lagi menangani masalah karhutla ini. Menurutnya, jangan semua permasalahan di lempar kepada pusat untuk ditangani.


"Tapi (pemerintah daerah) harus bekerja keras lagi karena presiden yang sibuknya luar biasa mau duduk di situ (berkunjung ke Riau). Sebuah pesan moral yang disampaikan presiden," ujarnya. Terkait pencopotan Kapolda dan Pangdam yang tak bisa menangani karhutla, Moeldoko menyebut hal itu perlu menunggu situasi kembali normal. Mantan Panglima TNI itu menyatakan dalam kondisi kritis seperti saat ini tak bisa serta merta langsung mencopot pejabat terkait.


"Tapi nanti setelah titik kritis ini dilewati, akan ada evaluasi. Jadi saya pikir ini titik kritis yang perlu ada penanganan, semua orang berkonsentrasi. Setelah itu baru dievaluasi," tuturnya. (cnn)

Ikuti Terus Riaupower

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER