Kanal

Nazar Bentuk Ketaatan kepada Allah

RADARPEKANBARU.COM -- Guna mencapai sesuatu yang ingin dicapai atau diimpikan, seorang Muslim kadang bernazar kepada Allah SWT. Sesuatu yang dinazarkan tersebut bersifat ibadah untuk meningkatkan ketaatan kita kepada Allah dan tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama Islam. Nazar secara bahasa berarti janji untuk hal yang baik atau buruk. Sementara, secara istilah, nazar diartikan sebagai ucapan dari seorang Muslim yang mewajibkan dirinya untuk melakukan sesuatu hal, yang pada mulanya tidak wajib menurut hukum syariat Islam.

 

Dalam Ensiklopedi Islam dijelaskan, nazar adalah mewajibkan kepada diri sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dengan maksud untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. (Ensiklopedi Islam Jilid 4 hlm 25). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nazar adalah suatu ucapan dari seorang Muslim mukalaf yang berjanji kepada Allah SWT untuk melakukan sesuatu hal. Karena itu, nazar tersebut wajib ditunaikannya walaupun pada mulanya hal itu bukanlah sesuatu yang wajib.

 

Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surah Ali Imran ayat 35 dan surah Maryam ayat 26, nazar telah disyariatkan kepada umat-umat terdahulu sebelum masa Nabi Muhammad SAW. Begitu juga pada umat Nabi SAW, nazar juga disyariatkan berdasarkan nas, baik Alquran maupun hadis. Dalam Alquran, Allah telah menjelaskan tentang seseorang yang bernazar, yang artinya, "Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)." (QS al-Hajj [22]: 29).

 

Tidak hanya itu, dalam surah al-Baqarah Allah juga telah berfirman, "Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolong pun baginya." (QS al-Baqarah [2]: 270).

 

Sementara, dalam hadis  yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah binti Abu Bakar, Rasulullah SAW juga bersabda, "Barang siapa yang bernazar untuk taat kepada Allah, hendaklah ia melaksanakannya, dan barang siapa yang bernazar untuk bermaksiat, maka janganlah (nazar itu) dilaksanakannya." (HR Bukhari dan Muslim).

 

Berdasarkan Alquran dan hadis di atas, berarti syariat Islam telah membolehkan atau mubah bagi setiap Muslim untuk bernazar. Kendati demikian, para ulama telah sepakat bahwa hukum melaksanakan sesuatu yang telah dinazarkan adalah wajib, dengan ketentuan bahwa nazar tersebut untuk melakukan kebaikan kepada Allah SWT, bukan untuk bermaksiat kepada-Nya.

 

Dalam ajaran Islam, orang yang tidak melaksanakan nazarnya, baik dengan sengaja atau karena tidak mampu, maka ditetapkan harus membayar kafarat atau denda yang jumlahnya sama dengan kafarat orang melanggar sumpah. Hal ini berdasarkan hadis Nabi SAW yang berbunyi, "Kaffarat an-nazr kaffarat al-yamin" yang artinya, denda nazar adalah denda sumpah.

 

Sebagian ulama yang berpendapat bahwa nazar merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah SWT, salah satunya karena mereka menggunakan dalil sebagai berikut, "(Yaitu) mata air (dalam surga) yang dari padanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana." (QS al-Insan [76]: 6-7)

 

Ayat tersebut menunjukkan bahwa salah satu ciri hamba Allah yang diberi keberkahan di surga kelak adalah mereka yang menunaikan nazar. Jika nazar itu dikatakan sesuatu yang makruh, niscaya Allah tidak akan membalas mereka dengan kebaikan di surga. Nazar merupakan sebuah janji yang harus umat Islam tepati karena janji adalah utang yang harus dibayar. Jika tidak bisa dibayar di dunia, tentunya Allah akan membayarnya di akhirat kelak sesuai dengan yang telah mereka perbuat.

 

Sementara, jika seseorang bernazar untuk selain Allah, hukumnya syirik karena nazar hakikatnya ibadah yang hanya diarahkan kepada Allah. Ibadah sendiri memiliki arti luas, yaitu segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah baik perkataan maupun perbuatan yang lahir maupun yang batin, dan nazar termasuk di dalamnya (Al Qoul As-Sadiid, hal 50).

 

Namun, sebagian ulama seperti Syekh Ibnu Utsaimin melihat hukum nazar adalah makruh. Bahkan, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah cenderung memandang ke arah pengharamannya. Hal ini didasarkan pada hadis Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda yang artinya, "Janganlah kalian bernazar, sesungguhnya ia tidak bisa memengaruhi takdir. Ia hanya dilakukan oleh orang yang bakhil (kikir)." (HR Bukhari dan Muslim).

 

Nazar memiliki beberapa prinsip yang harus dipatuhi. Pertama, keinginan nazar harus diucapkan atau dilafalkan, bukan hanya diucapkan dalam hati. Kedua, tujuan nazar harus karena Allah. Ketiga, nazar tidak dibenarkan untuk suatu perbuatan yang dilarang. Keempat, jika orang yang bernazar meninggal sebelum melaksanakannya, nazar harus dilaksanakan oleh keluarganya.

 

Dalam Alquran Allah berfirman, "Mereka (orang-orang yang baik) menunaikan nazar dan merasa takut akan suatu hari di mana ketika itu azab merata di mana-mana." (QS al-Insan [76]: 7).

 

Dalam ayat tersebut Allah memuji orang-orang yang menunaikan nazar. Hal itu berarti menunjukkan bahwa menunaikan nazar adalah perkara yang disukai Allah, jika hal itu dilaksanakan. Karena itu, Rasululullah SAW bersabda, "Barang siapa yang bernazar untuk melakukan ketaatan maka hendaklah dia laksanakan ketaatan itu kepada-Nya." (HR Bukhari).(rep)

Ikuti Terus Riaupower

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER