PILIHAN +INDEKS
Plt Bupati Asmar Terima Penghargaan Cakaplah Awards 2024
Dibaca : 2568 Kali
Bengkalis Dinobatkan Daerah Informatif, Industri Pers Dipandang Sebelah Mata
Dibaca : 2731 Kali
Polsek Rangsang Ungkap Sindikat 3 Pengedar Narkoba Dalam Satu Hari
Dibaca : 2546 Kali
OpsTertib Ramdhan LK 2024 Sinergitas Subuh Keliling TNI POLRI
Dibaca : 2402 Kali
Merasa Didiskriminasi
Dosen Indonesia Ancam Mogok Nasional
Ilustrasi
Jakarta, (radarpekanbaru.com) - Kebijakan Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 tahun 2013 tentang tunjangan kinerja pegawai di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), dinilai sangat diskriminatif. Bunyi pasal 3 ayat (1) poin (f) dijelaskan bahwa, Guru dan Dosen dikecualikan untuk mendapatkan tunjangan kinerja.
Pemerintah dianggap tidak serius memikirkan kesejahteraan dosen. Tanggung-jawab yang besar karena harus melakukan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan kualifikasi akademik minimal S2, tidak menjadi acuan yang sepadan dalam penentuan hak-hak dosen. Ironisnya, hak-hak yang diperoleh PNS di luar Kemendikbud jauh lebih besar.
Diskriminasi ini memicu ribuan Dosen Indonesia menggalang Petisi yang mendesak pemerintah untuk merevisi Perpres 88/2013 yang dianggap tidak adil. Berbagai perhimpunan profesi dosen di Indonesia seperti, Forum Akademisi Informasi dan Teknologi (FAIT), Grup Dosen Indonesia (GDI), Forum Dosen Indonesia (FDI) dan Forum Asosiasi Dosen (FAD) mendukung langkah penggalangan petisi.
''Kami menolak Perpres No. 88/2013 karena telah mendiskriminasi dosen untuk tidak mendapatkan haknya. Pemerintah harus merevisi perpres tersebut,'' ujar Abdul Hamid, penggagas petisi yang juga Dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.
Masih lanjut Abdul Hamid, ''Kami telah menggalang Petisi sebagai reaksi atas ketidakadilan terhadap profesi Dosen yang tidak mendapatkan tunjangan kinerja, padahal tunjangan kinerja seharusnya otomatis melekat pada status PNS,'' ungkapnya seperti dalam rilis yang diterima halloriau.com.
Senada dengan Abdul Hamid, Sekjen FAIT, Janner Simarmata menegaskan, penggalangan petisi adalah langkah awal yang dilakukan Dosen Indonesia untuk menuntut haknya.
''Petisi adalah langkah awal Dosen di seluruh Indonesia menuntut haknya. Kita akan melihat respon pemerintah,'' tegas Janner Simarmata yang juga dosen di Universitas Negeri Medan.
''Pemerintah sepatutnya mengetahui, tunjangan kinerja dan tunjangan profesi adalah dua hal yang berbeda. Tunjangan kinerja mengacu pada pekerjaan, perilaku dan hasil yang otomatis melekat pada PNS. Sedangkan tunjangan profesi (serdos) mengacu pada pengakuan terhadap dosen sebagai tenaga professional melalui persyaratan seperti, pendidikan, kepangkatan, nilai TOEFL dan TPA,'' lanjut Janner Simarmata.
''Jika dosen tidak berhak menerima tunjangan kinerja, lantas tunjangan apa yang didapatkan seorang dosen apabila dia juga belum memperoleh tunjangan profesi (serdos)?'' tanya Janner Simarmata.
Senada dengan rekannya, pengurus GDI, Ranny Emilia, mempertanyakan penghentian tunjangan fungsional dan tunjangan profesi ketika seorang dosen sedang tugas belajar.
''Dosen diperlakukan tidak adil dan ketidakpastian hukum terjadi di Kemendikbud. Buktinya, tunjangan fungsional dan tunjangan profesi dihentikan ketika seorang dosen sedang tugas belajar. Bukankah tugas belajar bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi,'' sebut Ranny Emilia yang juga dosen di Universitas Andalas Padang.
Sementara itu, Ketua Umum FAIT, Hotland Sitorus menghimbau Mendikbud agar segera mengusulkan revisi terhadap Perpres No. 88/2013 kepada Presiden. ''Petisi ini hal yang serius untuk dipikirkan Mendikbud. Ribuan Dosen di seluruh Indonesia berharap memperoleh haknya. Kenapa justru dipersulit. Mendikbud harus bertanggungjawab,'' tegas Hotland Sitorus.
''Apabila petisi ini tidak ditanggapi pemerintah, bukan tidak mungkin Dosen di Seluruh Indonesia akan melakukan mogok mengajar nasional,'' pungkas Hotland Sitorus. (*)
Pemerintah dianggap tidak serius memikirkan kesejahteraan dosen. Tanggung-jawab yang besar karena harus melakukan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan kualifikasi akademik minimal S2, tidak menjadi acuan yang sepadan dalam penentuan hak-hak dosen. Ironisnya, hak-hak yang diperoleh PNS di luar Kemendikbud jauh lebih besar.
Diskriminasi ini memicu ribuan Dosen Indonesia menggalang Petisi yang mendesak pemerintah untuk merevisi Perpres 88/2013 yang dianggap tidak adil. Berbagai perhimpunan profesi dosen di Indonesia seperti, Forum Akademisi Informasi dan Teknologi (FAIT), Grup Dosen Indonesia (GDI), Forum Dosen Indonesia (FDI) dan Forum Asosiasi Dosen (FAD) mendukung langkah penggalangan petisi.
''Kami menolak Perpres No. 88/2013 karena telah mendiskriminasi dosen untuk tidak mendapatkan haknya. Pemerintah harus merevisi perpres tersebut,'' ujar Abdul Hamid, penggagas petisi yang juga Dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.
Masih lanjut Abdul Hamid, ''Kami telah menggalang Petisi sebagai reaksi atas ketidakadilan terhadap profesi Dosen yang tidak mendapatkan tunjangan kinerja, padahal tunjangan kinerja seharusnya otomatis melekat pada status PNS,'' ungkapnya seperti dalam rilis yang diterima halloriau.com.
Senada dengan Abdul Hamid, Sekjen FAIT, Janner Simarmata menegaskan, penggalangan petisi adalah langkah awal yang dilakukan Dosen Indonesia untuk menuntut haknya.
''Petisi adalah langkah awal Dosen di seluruh Indonesia menuntut haknya. Kita akan melihat respon pemerintah,'' tegas Janner Simarmata yang juga dosen di Universitas Negeri Medan.
''Pemerintah sepatutnya mengetahui, tunjangan kinerja dan tunjangan profesi adalah dua hal yang berbeda. Tunjangan kinerja mengacu pada pekerjaan, perilaku dan hasil yang otomatis melekat pada PNS. Sedangkan tunjangan profesi (serdos) mengacu pada pengakuan terhadap dosen sebagai tenaga professional melalui persyaratan seperti, pendidikan, kepangkatan, nilai TOEFL dan TPA,'' lanjut Janner Simarmata.
''Jika dosen tidak berhak menerima tunjangan kinerja, lantas tunjangan apa yang didapatkan seorang dosen apabila dia juga belum memperoleh tunjangan profesi (serdos)?'' tanya Janner Simarmata.
Senada dengan rekannya, pengurus GDI, Ranny Emilia, mempertanyakan penghentian tunjangan fungsional dan tunjangan profesi ketika seorang dosen sedang tugas belajar.
''Dosen diperlakukan tidak adil dan ketidakpastian hukum terjadi di Kemendikbud. Buktinya, tunjangan fungsional dan tunjangan profesi dihentikan ketika seorang dosen sedang tugas belajar. Bukankah tugas belajar bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi,'' sebut Ranny Emilia yang juga dosen di Universitas Andalas Padang.
Sementara itu, Ketua Umum FAIT, Hotland Sitorus menghimbau Mendikbud agar segera mengusulkan revisi terhadap Perpres No. 88/2013 kepada Presiden. ''Petisi ini hal yang serius untuk dipikirkan Mendikbud. Ribuan Dosen di seluruh Indonesia berharap memperoleh haknya. Kenapa justru dipersulit. Mendikbud harus bertanggungjawab,'' tegas Hotland Sitorus.
''Apabila petisi ini tidak ditanggapi pemerintah, bukan tidak mungkin Dosen di Seluruh Indonesia akan melakukan mogok mengajar nasional,'' pungkas Hotland Sitorus. (*)
BERITA LAINNYA +INDEKS
Outing Class, Siswa SD IT Al-Hikmah Siak Hulu Kabupaten Kampar Belajar ke Pustaka Wilayah Riau
SISWA SD IT Al-Hikmah Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar lakukan belajar di lu.
Bupati Pelalawan H. Zukri Misran Bohongi Mahasiswa Pelalawan
RADARPEKANBARU - Persoalan bantuan pendidikan yang dianggarkan oleh pemeri.
Outing Class, TK Mawaddah Siak Hulu Ajak Siswa Belajar Sambil Bermain ke Kebun Binatang
KAMPAR - Taman Kanak-kanak (TK) Mawaddah Desa Baru, Kecamatan Siak Hulu, Ka.
Pengacara Said Sarifudin Dipercaya Dalam LKBH PGRI Siak
SIAK - Pengacara Said Sarifudin, SH MH dan Partners resmi dipercaya dalam L.
Wakil Bupati Siak Husni Merza Buka Konferensi Kerja II PGRI Siak
SIAK - Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Siak menggelar Ko.
Mahasiswa Kukerta UNRI 2022 Desa Pulau Ingu Adakan Acara Penyuluhan Stunting dan Pemanfaatan TOGA
Kuansing --Senin, 25 Juli 2022 mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (Kukerta) Universita.
TULIS KOMENTAR +INDEKS